Berita Economy & Industry

BSN Dorong Industri Baja Terapkan Standar Nasional Indonesia

SURABAYA— Badan Standardisasi Nasional (BSN) terus mendorong industri baja menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). BSN menilai produk ini sangat berkaitan dengan keselamatan konsumen. Apalagi pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya membangun proyek infrastruktur. Beberapa wilayah Indonesia yang rawan gempa pun menuntut tersedianya produk baja yang benar-benar lulus uji sesuai persyaratan SNI.

Deputi Bidang Akreditasi BSN Kukuh S Achmad mengatakan, peran BSN dalam perlindungan konsumen dilakukan melalui perumusan SNI. Baja merupakan salah satu dari sekian produk yang beredar di pasar yang seharusnya ber-SNI. “Kewenangan kami adalah memfasiltasi stakeholder dalam merumuskan SNI yang setelah ditetapkan oleh Kepala BSN, SNI bersifat sukarela. Kementerian bisa mengadopsi SNI menjadi Regulasi jika melalui analisisnya SNI tersebut benar-benar menyangkut keselamatan konsumen,” katanya dalam keterangan resmi kepada media massa dan dikutip Jawa Pos awal Mei 2019.

Terdapat 205 SNI yang diberlakukan secara wajib dan baja adalah salah satunya. Kukuh menjelaskan, BSN sendiri telah menetapkan 57 SNI terkait baja, 13 diantaranya merupakan SNI yang diberlakukan secara Wajib. SNI tersebut antara lain SNI 7614:2010 baja batangan untuk keperluan umum (BjKU); SNI 2052-2017 baja tulangan beton; SNI 07-0065-2002 baja tulangan beton hasil canai panas ulang; SNI 07-0601-2006 baja lembaran, pelat dan gulungan canai panas (Bj.P); SNI 07-3567-2006 baja lembaran dan gulungan canai dingin (Bj.D), dan SNI 07-2053-2006 baja lembaran lapis seng (Bj.LS).

Penetapan SNI baja tersebut didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertimbangan perlindungan konsumen dari beredarnya baja yang tidak aman. “Penetapan SNI dilakukan secara konsensus bersama stakeholder terdiri dari instansi, pakar, industri, dan konsumen dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan. Melalui penetapan SNI baja, diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dan perlindungan konsumen,” kata Kukuh.

SNI dikaji tiap lima tahun sekali mengikuti perkembangan iptek dan masukan dari stakeholder. “Sebagai contoh, saat ini, terdapat dua SNI terkait baja yang dianggap sulit dalam pengawasan penggunaannya di lapangan, yakni SNI 7614:2010 baja batangan untuk keperluan umum dan SNI 2052:2017 baja tulangan beton,” katanya.

Oleh karenanya, BSN akan mengabolisi SNI 7614:2010 baja batangan untuk keperluan umum (BjKU) dengan menunggu pencabutanPeraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan SNI Baja Batangan untuk Keperluan Umum (BjKU) secara wajib yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian terlebih dahulu. Usulan abolisi dikarenakan adanya kesulitan dalam pengawasan penggunaannya di lapangan dan memperhatikan keamanan dan keselamatan.

Sependapat dengan Kukuh, Bagian Standards & Certifications The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Basso D. Makahanap mendukung industri-industri baja menerapkan SNI. Baginya, industri baja merupakan salah satu industri hulu dalam perekonomian yang merupakan mother of industry atau yang menjadi penopang bagi industri lain serta mendukung sektor konstruksi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

“Penggunaan baja untuk konstruksi mencapai 78 persen dari seluruh konsumsi baja Indonesia. Bahkan, potensi demand baja nasional sangat besar sehingga perlu penguatan struktur industri baja nasional dengan kebijakan dan regulasi investasi yang berpihak kepada industri baja lokal sekaligus untuk menarik investor. Adapun, nilai TKDN Baja Nasional rata-rata sudah cukup tinggi sekitar 25-50 persen sehingga mampu dan siap mendukung sektor konstruksi di proyek infrastruktur nasional,” kata Basso.

Berdasarkan data IISIA, konsumsi baja nasional pada tahun 2018 sebesar 14,7 juta ton, angka tersebut menunjukkan peningkatan 8,29 persen dari tahun sebelumnya dan diproyeksikan akan terus meningkat. Namun, tambah Basso, utilisasi kapasitas industri baja rata-rata masih rendah kurang dari 50 persen sehingga tingkat produksi masih dapat ditingkatkan untuk dapat memenuhi kebutuhan baja nasional khususnya dari sektor konstruksi.

Salah satu upaya yang saat ini sedang berjalan untuk memenuhi kebutuhan baja domestik dan dapat mensubtitusi produk impor serta memperkuat daya saing industri baja nasional, yaitu pembangunan Klaster Baja 10 juta ton di Cilegon (Banten) yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dengan POSCO Korea.

Adapun konsumsi baja nasional setiap tahun terus mengalami peningkatan dan diikuti oleh volume impor baja yang juga masih cukup tinggi dengan pangsa pasar mencapai 52 persen, sedangkan supply produksi nasional setelah dikurangi ekspor hanya mendapat pangsa pasar sebesar 48 persen. Basso menilai, volume importasi baja yang tinggi membuat industri baja nasional tidak mampu bersaing sehingga menyebabkan defisitnya neraca perdagangan RI.

“Industri baja nasional perlu dilindungi dari ancaman produk impor, baik dengan tariff barrier maupun non-tariff barrier seperti penerapan SNI wajib untuk mensinergikan pengembangan industri baja hulu dan hilir di Indonesia agar pelaku industri baja domestik dapat menghasilkan produk baja yang berdaya saing dan sesuai standar sebagai upaya untuk membendung impor,” ujarnya. (*)