Berita Economy & Industry

Dalam Diskusi Forum Wartawan Industri, Pemerintah RI tak Memperpanjang Insentif untuk Mobil Listrik Impor CBU

INDUSTRY— Kebijakan pemerintah RI untuk memberi insentif impor completely built up (CBU) mobil listrik berakhir tahun 2025 ini. Dan kemungkinan besar tak akan dilanjutkan. Hingga saat ini, sudah ada enam produsen mobil listrik yang menikmati insentif tersebut. Mereka antara lain, BYD Auto Indonesia (BYD), Vinfast Automobile Indonesia (Vinfast), Geely Motor Indonesia (Geely), Era Industri Otomotif (Xpeng), National Assemblers (Aion, Citroen, Maxus dan VW), dan Inchape Indomobil Energi Baru (GWM Ora).

‎Selama ini pemerintah RI memberikan insentif untuk impor CBU mobil listrik, Insentif dari pemerintah tersebut berupa keringanan bea masuk dan keringanan PPnBM serta PPN. Pemberian insentif tersebut disertai dengan syarat bahwa produsen mobil yang menikmatinya wajib melakukan produksi dalam negeri dengan proporsi volume unit 1:1 dari jumlah kendaraan CBU yang masuk ke pasar domestik.

Direktur Industri Elektronika dan Telematika Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mahardi Tunggul Wicaksono menyebutkan bahwa insentif ini kemungkinan tak akan diperpanjang setelah periode impor berakhir pada akhir tahun 2025 ini. “Belum ada sama sekali rapat atau pertemuan dengan kementerian dan lembaga lain terkait keberlanjutan insentif ini. Jadi bisa kita asumsikan karena sampai hari belum ada diskusi atau pertemuan, sehingga asumsinya memang insentif ini sudah akan berakhir sesuai dengan regulasi yang ada,” kata Tunggul dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin) bertajuk ‘Polemik Insentif BEV Impor’ di Jakarta, Senin 25 Agustus 2025.

Kebijakan insentif tersbeut dimulai pada Februari 2024. Produsen yang memenuhi jaminan bank garansi, boleh mengimpor mobil listrik secara CBU tanpa dikenakan Bea Masuk dan PPnBM hingga 31 Desember 2025. Setelah itu produsen mesti memproduksi mobil listrik di Indonesia sesuai jumlah total unit CBU yang sudah diimpor. Produksi ini dilakukan mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027 menyesuaikan road map Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Kemudian pada 2028 pemerintah akan mengaudit kesesuaian produksi dengan jumlah impor CBU. Bila tidak sesuai maka pemerintah bisa mengklaim Bank Garansi untuk membayar utang produksi peserta program.

Dikesempatan yang sama, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara kebijakan tersebut telah mendorong peningkatan penjualan mobil listrik di dalam negeri. Namun di sisi lain meredam penjualan model konvensional yang selama ini diproduksi di Tanah Air.  

Pangsa pasar mobil listrik di Indonesia selama Januari-Juli 2025 sudah mencapai 9,7 persen dengan catatan terjual 42.250 unit. Pangsa pasar itu sudah naik nyaris 100 persen dari pencapaian sepanjang 2024 sebesar 4,99 persen (43.194 unit). Kemudian pada 2024 itu kendaraan listrik BEV makin banyak, tapi menekan kendaraan yang sudah diproduksi di dalam negeri yang justru sudah mengadopsi TKDN-ya cukup tinggi. “Berkisar sampai 85 persen, dan itu juga sebenarnya model dengan harga yang cukup diminati masyarakat Rp 250 juta,” kata Kukuh.

Sementara itu, Praktisi Otomotif dan Peneliti LPEM dari Universitas Indonesia Riyanto meminta pemerintah untuk tidak lagi memperpanjang insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle, BEV) impor CBU. “Saya sendiri berkesimpulan insentif BEV dengan skema impor utuh tidak perlu diperpanjang lagi setelah 31 Desember mendatang,” kata Riyanto.

Ia tak menampik insentif BEV Impor CBU mampu mendorong penjualan mobil Listrik pada 2024 dan 2025. “Pangsa pasarnya dari 4,99 persen (43 ribuan unit) pada 2024 terus melonjak ke 9,57 persen pada 2025,” kata dia.

Riyanto menegaskan insentif BEV impor CBU hanya memiliki dampak ekonomi di sektor perdagangan saja. Sementara multiplier effect-nya jauh lebih kecil dibanding BEV yang diproduksi local (completely knocked down, CKD). Selain itu, utilisasi produksi pabrik dalam negeri menjadi tidak optimal. Hal itu berpotensi menghambat target produksi 400 ribu unit pada 2025 dan juga target produksi mobil yang diharapkan pemerintah.

“Yang lebih penting, jika insentif tersebut tetap diperpanjang tentu akan menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan yang telah berinvestasi dan memproduksi BEV di dalam negeri. Jika diperpanjang menimbulkan ketidakadilan dan inkonsistensi kebijakan, ini terkait kredibilitas kebijakan,” kata Riyanto. (*)