JAKARTA— Produksi mobil listrik memerlukan teknologi tinggi. Produksinya pun belum semassif mobil bermesin konvensional berbahan bakar minyak (BBM). Ini membuat harga mobil listrik masih, apa lagi di Indonesia. Hingga saat ini mobil listrik yang beredar di jalanan juga masih impor utuh (completely knock down, CBU), yang membuat harga mobil ini mahal.
Ketua Umum I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (GAIKINDO) Jongkie D Sugiarto menjelaskan harga mobil ini mahal walau sudah mendapat insentif pembebasan bea masuk, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), serta bea balik nama. Toh harganya belum bisa turun di bawah Rp 600 juta, misalnya. “Kita harus paham pasar mobil di Indonesia paling laku yang terjangkau Rp 250 juta ke bawah. Ini menjadi tantangan,” katanya seperti dikutip CNBC Indonesia TV, Selasa 15 Desember 2020.
Jongkie mengatakan pendapatan perkapita secara nasional masih di bawah 4.000 dolar Amerika Serikat (AS) per tahun. Angka itu belum ketemu dengan hitungan keekonomian jika ingin melihat mobil listrik terjual secara masif. Rata -rata pembeli mobil di atas Rp 250 juta hanya 40 persen dari total penjualan.
Tapi bukan tak mungkin, karena dalam road map pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 dalam peraturan turunannya pemerintah berkomitmen untuk menurunkan polusi dan penghematan BBM untuk mobil karena menguras devisa negara. Sehingga prediksinya baru tiga hingga lima tahun lagi penjualan mobil listrik dapat masif.
Produksi Komponen di Indonesia untuk Menekan Harga
Jongkie menambahkan Indonesia harus menarik investor dari luar negeri untuk membangun fasilitas komponen dalam negeri. Dengan meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bisa membuat harga mobil listrik ini lebih murah. “Investasi di pabrik komponen besar sekali perlu tahapan untuk membuat batre mobil sendiri, tapi salah satunya dengan cara tingkatkan TKDN untuk mengurangi harga mobil listrik,” katanya
Saat ini GAIKINDO tengah menunggu aturan pasti dari Peraturan Presiden 55 Tahun 2019 ini. Sehingga para agen pemegang merek (APM) yang sudah memiliki rencana terkait mobil listrik tak hanya menduga-duga. Selain itu sudah ada komunikasi dengan pemerintah soal prasarana mobil listrik seperti pengisian listrik di tempat umum.
Menurut Jongkie, mobil-mobil di bawah harga Rp 250 juta saat ini memiliki TKDN sekitar 80 persen. Artinya semakin besar TKDN, harga bisa lebih ditekan. Beberapa komponen mobil listrik sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Semisal body, rem, roda, suspensi, sistem pengereman, dan sistem kemudi yang sebetulnya masih sama dengan mobil konvensional. “Itu sudah bukti nyata. Kalau kita bisa membuat baterai mobil listrik di dalam negeri dan lain-lain, kita berharap tentunya harga mobil secara keseluruhan bisa turun dari yang ada sekarang ini,” kata Jongkie seperti dikutip Kompas.
Ia mengatakan, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan supaya harga jual mobil listrik bisa lebih murah. Pertama, terkait industri nikel Tanah Air, pemerintah harus mendorong pembangunan pabrik baterai mobil listrik di dalam negeri. Baterai adalah komponen paling mahal dari mobil listrik. Harga baterai tersebut kalau dihitung berkisar 40-45 persen dari harga satu unit mobil.
“Kalau itu bisa diproduksi di Indonesia dengan bahan baku yang ada nikel tadi, lalu dibuat smelter, menuju lithium, lalu dibuat di dalam negeri, kemungkinan besar harga baterai tersebut bisa turun. Kita sudah berpengalaman kalau pakai komponen lokal lebih banyak maka mobil tersebut harganya akan jauh lebih murah.”
Perhatikan Nasib Industri Komponen
GAIKINDO belum akan mendorong para APM anggotanya untuk merambah mobil listrik lantaran masih mengkaji potensi dampak mobil listrik terhadap industri komponen otomotif. “Itu masih kami kaji baiknya bagaimana. Kalau full mobil listrik, kasihan pabrik komponen. Nanti bakal banyak yang hilang. Engine transmisi akan hilang digantikan motor listrik dan baterai,” ucap Andi Tauji, Anggota Kompartemen Transportasi, Lingkungan dan Infrastruktur GAIKINDO seperti dikutip Tirto beberapa waktu yang lalu.
Kebutuhan komponen untuk mobil listrik jauh lebih sedikit ketimbang mobil bermesin konvensional. Menurut catatan GAIKINDO, mobil listrik hanya membutuhkan 20 ribu komponen, sedangkan mobil konvensional 30 ribu komponen. Oleh karena itu, secara tak langsung wacana mobil listrik akan berpengaruh signifikan pada jumlah komponen yang dipasok pabrikan. Ujung-ujungnya, pendapatan pabrik komponen akan tergerus signifikan.
Regulasi pemerintah tentang pengembangan kendaraan bermotor listrik sudah terbit dan ditandatangani Presiden Joko Widodo. Regulasi dalam bentuk peraturan presiden (Perpres) itu diharapkan dapat mengakselerasi industri mobil listrik, seperti telah dibahas bersama oleh lintas lembaga dan pengusaha. Terlebih, 60 persen komponen mobil listrik bergantung pada baterai yang bahan dasar produksinya, seperti kobalt, mangan dan lainya, tidak ada di Indonesia.
“Strategi bisnis ini kita rancang agar nanti kita bisa mendahului dalam membangun industri mobil listrik yang kompetitif,” kata Presiden. Selain perpres, pemerintah juga akan memberikan insentif fiskal dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2013 yang terkait dengan sistem fiskal dan perpajakan, seperti (PPnBM). Revisi PP No 41 memasukkan juga peta jalan atau road map mengenai teknologi berbagai kendaraan berbasis listrik, termasuk untuk mengantisipasi teknologi kendaraan berbasis hidrogen atau fuel cell vehicle. (*)