SINDONEWS— Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mendorong evaluasi insentif otomotif. Sekretaris Umum GAIKINDO Kukuh Kumara menegaskan bahwa dalam jangka pendek, pemerintah bisa mengucurkan insentif pajak ke semua teknologi, mengingat porsi komponen pajak terhadap harga mobil saat ini sangat tinggi, sekitar 50 persen.
Sebagai perbandingan, di Malaysia yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih tinggi dari Indonesia, porsi pajak hanya sekitar 30 persen. Pajak tahunan kendaraan di Indonesia juga lebih mahal dari Malaysia. Dengan pemberian insentif yang lebih luas, Kukuh Kumara meyakini total penjualan mobil dapat naik, bahkan menyentuh titik optimal tiga juta unit per tahun, setara dengan Meksiko.
Hitungan di atas didasarkan pada rata-rata penjualan mobil bekas per tahun yang mencapai dua juta unit. Jika sebagian besar dari jumlah ini dialihkan ke mobil baru, penjualan mobil nasional bisa mencapai target ambisius tiga juta unit. Saat ini, industri kendaraan listrik di Indonesia telah menarik investasi signifikan.
Ada 63 perusahaan yang memproduksi sepeda motor listrik roda dua dan tiga, dengan total kapasitas produksi sebanyak 2,28 juta unit per tahun dan investasi sebesar Rp 1,13 triliun. Selain itu, terdapat sembilan perusahaan yang memproduksi mobil listrik dengan kapasitas 70.060 unit per tahun dan investasi sebesar Rp 4,12 triliun. Tak ketinggalan, tujuh perusahaan memproduksi bus listrik, dengan kapasitas 3.100 unit per tahun dan investasi sebesar Rp 0,38 triliun. Secara keseluruhan, total investasi kendaraan listrik (electric vehicle, EV) di Indonesia mencapai Rp 5,63 triliun.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mahardi Tunggul Wicaksono, menegaskan bahwa investasi sebesar ini harus dijaga karena membawa multiplier effect luar biasa bagi perekonomian nasional, termasuk pada peningkatan jumlah tenaga kerja. “Kalau otomotif menambah satu tenaga kerja, efeknya itu untuk dua orang. Jadi, efek pengungkitnya luar biasa. Otomotif adalah jembatan untuk memperkuat manufaktur. Jangan sampai manufaktur layu sebelum berkembang, karena kita punya potensi pasar tig juta unit. Jadi, perluasan insentif otomotif diperlukan,” kata Tunggul beberapa saat lalu.
Tunggul menegaskan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era kendaraan listrik melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal. Kemenperin telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target emisi nol (net zero emission, NZE) nasional, salah satunya dengan penguatan regulasi yang mewajibkan pemenuhan local purchase dan/atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam proses produksi.
“Melalui regulatory framework yang telah disusun, industri kendaraan bermotor (KBM) yang memenuhi ketentuan local purchase dan TKDN dapat memperoleh insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Ini menjadi langkah strategis dalam menciptakan industri otomotif yang mandiri dan berdaya saing,” kata Tunggul.
Pemerintah telah menyiapkan insentif perpajakan bagi perusahaan yang berinvestasi di Indonesia, termasuk pembebasan bea masuk (BM) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik beterai (battery electric vehicle, BEV) dalam bentuk utuh (completely built-up, CBU, serta insentif BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik rakitan (completely knocked down, CKD) dengan TKDN di bawah roadmap guna mendorong percepatan investasi lokal. Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM Ditanggung Pemerinth (DTP) sebesar tiga persen, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.
Tunggul menegaskan, insentif-insentif ini adalah stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi, dari hulu ke hilir. “Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” kata dia.
Kukuh Kumara menambahkan, GAIKINDO juga mendorong evaluasi kebijakan insentif otomotif yang bisa berdampak jangka panjang dan memastikan target yang dicanangkan tercapai, seperti target produksi BEV 600 ribu unit pada 2030. Ia menekankan pentingnya produksi BEV di dalam negeri, bahkan hingga ekspor, menjadikan Indonesia basis produksi. Kukuh menilai, Indonesia jangan hanya fokus pada satu teknologi.
Pemerintah jangan menutup mata pada mobil hybrid yang kini juga dilirik di Tiongkok, karena teknologi otomotif berkembang cepat, sehingga kebijakan harus fleksibel dan bermanfaat. Ia berpendapat, selama ini mobil elektrifikasi baru memakan pasar mobil berbahan bakar minyak (internal combustion engine, ICE) dan mobil low cost green car (LCGC), belum menciptakan pasar baru. Pada titik ini, insentif ke ICE dan LCGC bisa menambah volume pasar hingga tiga juta unit.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Riyanto menyatakan, industri mobil sedang mengalami resesi karena penjualan turun dua tahun beruntun. “Ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga,” kata Riyanto, menyoroti penambahan opsen pajak di beberapa daerah tahun ini.
Ia yakin, pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan, terbukti dengan model regresi yang menunjukkan penjualan BEV berinsentif 57 persen lebih tinggi. Oleh sebab itu, Riyanto menyerukan agar pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tak selalu lebih rendah dari hybrid. Ia yakin, efek insentif LCGC, hybrid, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV.
Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), membuatnya lebih diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama. “Dalam jangka pendek, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN (pajak pertambahan nilai) atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun,” kata Riyanto.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara, tanpa takut rugi karena dampak ekonomi insentif ini sangat besar. Hitungan Riyanto, pemberian insentif PPnBM nol persen dapat menyumbangkan PDB 0,8 persen dan tambahan tenaga kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier) 47 ribu orang. Evaluasi insentif otomotif kali ini bukan sekadar penyesuaian angka, melainkan pertaruhan besar bagi masa depan industri otomotif Indonesia. Antara ambisi elektrifikasi, penyelamatan pasar yang lesu, dan keseimbangan ekonomi nasional, pemerintah dihadapkan pada keputusan krusial yang akan menentukan arah perjalanan ribuan triliun rupiah investasi dan jutaanla pangankerja. (*)