Bahan Bakar & Emisi Berita Teknologi

GAIKINDO: Standar Kadar Air B20 Harus Diperhatikan

JAKARTA— Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Yohanes Nangoi menyatakan dukungannya terhadap penerapan bahan bakar biodisel campuran minyak kelapa sawit 30 persen (B30). Namun, ia berharap agar pihak produsen dan distribusi B30 memperhatikan standar kualitas yang sesuai dengan mesin mobil di Indonesia.

Menurut Yohanes, saat ini baru Indonesia yang menerapkan bauran biodisel hingga 20 persen (B20), sedangkan negara-negara lain paling banter hanya mencapai 7 persen. “Tahun depan bahkan mau dinaikkan jadi 30 persen, sehingga Indonesia patut berbangga,” ujar dia di acara Indonesia Biodiesel Leader Forum, Jumat 8 November 2019, seperti dikutip Kontan.

Kendati demikian, menyambut program B30 yang semakin dekat, Gaikindo meminta supaya produsen biodisel seperti Pertamina lebih memperhatikan lagi standar kadar air untuk bahan bakar tersebut. Yohanes bilang, kadar air untuk B30 idealnya maksimal di level 200 miligram per kilogram.

Kadar air yang terlalu tinggi dapat berdampak negatif bagi performa mesin mobil, khususnya mobil kecil bertenaga disel. Masalah yang timbul dari tingginya kadar air antara lain kemunculan guratan-guratan pada injection sampai korosi pada mesin mobil.

Yohanes melanjutkan, perubahan standar kadar air pada bahan bakar B30 juga dapat memaksa produsen untuk merombak mesin mobil. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang diemban tiap produsen. Padahal di tiap tahun produksi mobil di Indonesia dapat mencapai 1,3 juta unit. Sebanyak 1,1 juta unit di antaranya dipasarkan di dalam negeri, sedangkan sisanya diekspor ke luar negeri

Ditambah lagi, GAIKINDO mendapat permintaan dari pemerintah agar dalam tiga tahun hingga empat tahun ke depan jumlah mobil yang diekspor dapat mencapai 1 juta unit. “Ada banyak mobil yang diproduksi di Indonesia. Kalau dipaksa diubah mesinnya, industri tak bisa jalan,” katanya.

Terlepas dari itu, Yohanes tetap mendukung penerapan B30 dalam waktu dekat. Biar bagaimanapun pihak produsen kendaraan telah siap menghadapi program tersebut. “Kami tetap dukung B30 ataupun jika nantinya dinaikan lagi jadi B50 dan B100. Asalkan standar yang sudah ada jangan diubah lagi,” katanya.

Produsen biodisel sudah siap mempercepat B30 

Produsen biodiesel menyatakan siapan mewujudkan kebijakan pemerintah tersebut. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor bilang, pihak Asprobi sebenarnya sudah siap menjalankan kebijakan B30 sejak Oktober 2019. “Jadi kalau B30 mulai diterapkan di pertengahan November, dari sisi produsen tak ada masalah. Kami juga siap kalau B30 akhirnya diterapkan Januari 2019 nanti,” katanya.

Ia menyebut, pihak produsen sudah siap untuk memproduksi sekitar 10 juta kiloliter bahan bakar B30 untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2020 nanti. Bahkan, di awal 2020, uji coba untuk penerapan B40 dan B50 juga akan dilakukan. Lebih lanjut, tantangan penerapan B30 saat ini lebih kepada pengaturan logistik saja. Hal tersebut juga menjadi kelemahan selama penerapan B20 sepanjang tahun ini.

Evaluasi pun telah dilakukan oleh pihak Asprobi. Tak ketinggalan, Asprobi juga telah menyiapkan langkah antisipasi yang coba diterapkan di sisa tahun ini. “Salah satunya dengan menggunakan tangki darat berkapasitas 50 ribu kiloliter di samping penggunaan dua floating storage yang sudah ada,” kata Parulian.

Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury menyatakan, pihaknya juga telah siap memfasilitasi distribusi B30 dalam waktu dekat. Infrastruktur yang mendukung penerapan B30 pun telah disiapkan secara matang oleh Pertamina.“Infrastruktur tentu sudah siap. Kalau diterapkan bulan Desember atau Januari nanti, insyaallah kami sudah siap,” katanya.

Pahala berharap, penerapan B30 dapat membuat Indonesia tak lagi mengimpor bahan bakar biodiesel di masa mendatang.

Uji coba implementasi B30 pertengahan November

Aprobi menyatakan siap melakukan uji coba implementasi campuran biodiesel B30 sebelum pergantian tahun ini. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, sejatinya implementasi B30 baru akan dimulai pada Januari 2020 nanti. Namun demikian, ia bilang pihaknya siap melaksanakan uji coba implementasi B30 pada pertengahan November 2019. “Dirjen EBTKE minta secepatnya. Bahkan, kalau bisa besok sebenarnya. Hanya, kenyataan di lapangan biasanya butuh waktu,” katanya.

Uji coba ini untuk mengetahui distribusi, transportasi, dan penyimpanan bahan bakar biodisel B30. Bukan sekadar uji jalan (road test) atau simulasi distribusi seperti sebelum-sebelumnya.  Bahkan, pada uji coba kali ini, bahan bakar B30 juga dapat dibeli oleh masyarakat secara umum di seluruh Indonesia. “Harga jual B30 nanti masih sama dengan harga biosolar sekarang,” kata Paulus.

Lebih lanjut, jika uji coba implementasi B30 jadi dilaksanakan pertengahan bulan ini, maka kebutuhan fatty acid methyl esters (FAME) untuk bauran B30 hingga akhir tahun nanti diperkirakan sekitar 250 ribu kiloliter sampai dengan 400 ribu kiloliter. Namun, perlu diingat bahwa kepastian uji coba tersebut akan sangat bergantung dari terbitnya Surat Keputusan Menteri ESDM mengenai penambahan alokasi FAME, serta kontrak dan purchase order(PO) dari Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BUBBM). Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka uji coba implementasi B30 secara menyeluruh dapat terlaksana segera.

Terlepas dari itu, Paulus menyebut, seluruh infrastruktur yang dibutuhkan untuk menunjang produksi dan distribusi B30 sudah siap. Termasuk infrastruktur logistik dan penyimpanan yang sempat menjadi bahan evaluasi selama penerapan B20 di tahun ini. “Sebenarnya masalah infrastruktur ini bukan ranah Aprobi saja. Tapi bisa kami katakan bahwa kualitasnya sudah ditingkatkan dan siap menunjang kebutuhan B30 nanti,” katanya.

Ia menambahkan, di 2020 nanti, tak hanya B30 saja yang sudah dipastikan bakal diterapkan, melainkan juga uji jalan untuk penerapan B40 serta B50. Hal ini dilakukan mengingat pemerintah ingin mempercepat peralihan menuju bahan bakar hijau atau greenfuel di Indonesia. (Foto: Tribun)