Berita Economy & Industry

GAIKINDO: Perlu Diskon Pajak Mobil untuk Bangkikan Pasar Domestik

JAKARTA— Industri otomotif adalah salah satu sektor usaha yang terkena imbas dari pandemi Covid-19. Ekses yang dirasakan mulai dari hambatan proses produksi hingga anjloknya penjualan. Pada Mei 2020, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat volume penjualan mobil wholesale (dari pabrik ke dealer) Bulan Mei hanya sebanyak 3.551 unit.

Volume penjualan itu anjlok dibandingkan dengan Bulan April sebesar 7.868 unit dan 84.367 unit pada bulan Mei tahun lalu. Artinya penjualan mobil mengalami kontraksi -95,8 persen year-on-year (yoy). Sekretaris Umum (Sekum) GAIKINDO Kukuh Kumara mengatakan industri otomotif tengah berupaya meningkatkan daya beli masyarakat, tetapi bukan melalui diskon besar-besaran. Untuk itu GAIKINDO telah mengirimkan surat kepada kepala daerah untuk mengurangi pajak kendaraan yang saat ini 12,5 persen dalam jangka waktu tertentu.

“Sebagian provinsi di Indonesia pendapatan asli daerah (PAD) mereka 65% berasal dari pajak kendaraan. Kalau 12,5% itu diturunkan maka akan menjadi stimulus untuk mereka membeli kendaraan,” kata Kukuh kepada CNBC Indonesia dalam Squawk Box, Rabu 17 Juni 2020.

Apalagi pada Juni ini telah memasuki era normal baru ini masyarakat memiliki pilihan untuk membeli kendaraan untuk menunjang kebutuhan transportasinya. Jika industri memberikan diskon tetapi tidak ada insentif pajak, maka mereka tetap tidak melakukan pembelian.

“Kalau didiskon maka akan ada kemampuan membeli, apalagi kalau ditambah penghapusan sementara jangka waktu tertentu pajak progresif, mereka akan membeli. Ini akan jadi sentimen mereka untuk membeli kendaraan,” katanya.

Selain insentif pajak, GAIKINDO juga mengharapkan adanya relaksasi pada tarif listrik dan gas, serta percepatan penundaan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) ekspor. Relaksasi ini bisa memberikan nafas yang lebih panjang bagi perusahaan, apalagi industri kendaraan saat ini masih melakukan ekspor di tengah kondisi ini. “Insentifnya belum dilaksanakan, dan masih menggunakan pola yang selama ini berjalan. Kalau ada pengurangan pajak dari 12,5 persen ke 6 persen saja kan sudah lumayan,” kata Kukuh.

Dia juga mengungkapkan anjloknya penjualan pada industri otomotif berbeda dengan yang pernah terjadi di masa krisis ekonomi. Pada masa itu, tidak semua negara mengalami krisis sehingga tidak ada gangguan rantai pasok komponen untuk keperluan produksi.

Industri otomotif merupakan industri yang bersifat menyeluruh, dan produksi kendaraan pun didukung oleh ribuan pemasok. Jika satu komponen saja terhambat, maka produksi tidak bisa dijalankan. “Misalnya komponen di era globalisasi ini pasokannya kan banyak negara, ada satu aja komponen dari negara yang melakukan lockdown ini menyebabkan produksi tidak berjalan. Pembeli juga tidak bisa datang ke diler karena tutup di masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar),” kata Kukuh.

GAIKINDO memproyeksikan dengan adaptasi normal baru pada Juni ini, penjualan hingga akhir tahun bisa mencapai 600 ribu unit kendaraan. Kukuh mengutarakan industri otomotif pun bukan industri yang instan dan bersifat jangka panjang, sehingga Indonesia memiliki peluang besar ke depannya terutama dengan rasio kepemilikan kendaraan yang masih rendah dan masih berpotensi tumbuh. “Kita memiliki kapasitas 2,5 juta unit untuk produksi, dan baru dimanfaatkan 1,3-1,4 juta. Jadi masih ada potensi untuk bisa dioptimalkan. Indonesia harapannya cepat pulih kembali,” katanya.

Sebagai informasi, pada 12 November tahun lalu, Pemerintah Provindi DKI Jakarta menaikkan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) menjadi 12,5 persen. Selain menyeragamkan pajak kendaraan bermotor, kenaikan pajak BBN-KB itu juga disebutkan dengan alasan untuk mengurangi kemacetan di Ibukota. (*)