ANTARA— Perlu adanya kajian menyeluruh— terutama dalam hal keekomian— terkait imbauan pemerintah untuk mendorong penggunaan baterai nikel untuk kendaraan listrik (electric vehicle, EV). Perlunya kajian ini disuarakan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO).
“Imbauan pemerintah itu bagus. Tapi jangan lupa, yang utama adalah skala keekonomian. Kalau tak ekonomis, pabrikan tak akan mau berinvestasi di sini,” kata Sekretaris Umum GAIKINDO, Kukuh Kumara, ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis 7 Agustus 2025.
Kukuh menyatakan bahwa pemanfaatan bahan baku lokal seperti nikel memang dapat meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Tapi penerapannya tak bisa dilakukan secara seragam. Langkah ini arus mempertimbangkan kesiapan industri dan perbedaan teknologi di tiap merek kendaraan. Menurut dia, setiap produsen otomotif memiliki teknologi dan strategi yang berbeda.
Meski bahan baku seperti nikel tersedia, proses produksi baterai tetap bergantung pada aspek teknis yang kompleks dan rahasia dagang masing-masing pabrikan. “Tak bisa sekadar dicetak dan langsung dipakai. Kinerja baterai berkaitan langsung dengan teknologi masing-masing merek,” katanya.
GAIKINDO juga menilai bahwa saat ini volume produksi kendaraan listrik di Indonesia masih terbatas, sehingga upaya membangun ekosistem baterai nikel skala besar perlu didasarkan pada potensi pasar yang realistis. Kukuh menyebutkan bahwa tanpa skala produksi yang besar, biaya produksi baterai akan tetap tinggi dan sulit bersaing secara global. Selain soal keekonomian, ia juga menyoroti pentingnya investasi dalam riset dan pengembangan (research and development, R&D).
Kukuh menyebut contoh Tiongkok sebagai negara yang berhasil mengembangkan industri EV. Itu karena Tiongkok memiliki dukungan kuat terhadap riset dan pengembangan yang berkelanjutan. Gagasan penggunaan baterai nikel dalam negeri akan membuat biaya logistik akan menurun karena baterai merupakan komponen berat dan besar. Yang penting, tiap kebijakan harus memperhitungkan transisi industri secara bijak dan tak mengganggu stabilitas industri otomotif yang sudah berkembang.
“Tujuan utamanya adalah menuju emisi nol karbon yang bisa dicapai dengan berbagai cara. Jadi mari kita optimalkan apa yang sudah ada sambil tetap mendorong pengembangan lokal secara bertahap dan masuk akal,” kata Kukuh. (*)