TEMPO— Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) minta agar pemerintah menghentikan penggunaan truk berdimensi dan bermuatan berlebihan atau over dimension over load (ODOL). Truk berdimensi dan bermuatan berlebihan melanggar peraturan lalu-lintas, bahkan sering menjadi penyebab kecelakan di jalan raya. MTI minta agar pemerintah merevisi Pasal 184 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Pasal 184 Undang-undang LLAJ mengatur penetapan tarif angkutan barang. Peraturan itu menyebutkan tarif angkutan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Sehingga, ketentuan tarif angkutan barang berbeda dengan angkutan umum yang memiliki tarif dasar berupa tarif batas atas dan batas bawah yang ditetapkan pemerintah.
“Ini yang menyebabkan variasi tarif yang signifikan di antara perusahaan angkutan barang,” Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Djoko Setijowarno Djoko melalui keterangan tertulis, Selasa, 13 Mei 2025.
Variasi tarif antarperusahaan angkutan barang sebagai perang tarif. Fenomena yang timbul karena tak ada aturan tarif yang rigid dari pemerintah, ini menimbulkan persaingan yang tak sehat. Walhasil, tak sedikit perusahaan angkutan barang yang kemudian menggunakan truk ODOL. Perang tarif itu pun pada akhirnya berdampak pada kerusakan jalan. “Kerusakan jalan disebabkan kendaraan barang berdimensi dan bermuatan berlebih,” katanya.
Selain revisi Pasal 184 Undang-Undang LLAJ, pemerintah perlu menyusun rencana rinci atau roadmap penghapusan ODOL. Roadmap dapat dibagi dalam tiga periode. Misalnya, jangka pendek (2025-2026), jangka menengah (2027 – 2029) dan jangka panjang (2030-2045). “Di dalam roadmap ada program, indikator dan penanggungjawab dari kementerian dan lembaga terkait,” katanya.
Langkah berikutnya dapat dimulai dari proyek pemerintah dan BUMN agar tak menggunakan truk ODOL. Setelah itu, meluas ke sektor atau wilayah lainnya. “Pemerintah juga jangan lupa memasukkan pemberantasan pungli, upah standar pengemudi, perbaikan tunjangan fungsional petugas penguji kendaraan bermotor, penggunaan teknologi untuk pengendalian, pemberian insentif dan disinsentif,” kata akademisi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata (Semarang, Jawa Tengah) itu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY mengatakan pemerintah berkomitmen menghapus ODOL pada 2026. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengatakan kebijakan zero ODOL diperlukan agar tidak ada lagi korban jiwa akibat kecelakaan truk ODOL.
Dudy mengakui ada perusahaan logistik yang tidak sepakat atau keberatan bila pemerintah menerapkan zero ODOL. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini sebenarnya ditargetkan terlaksana pada 2023. Dudy menilai pemerintah sudah memberi relaksasi cukup lama kepada pengusaha. “Ini bukan soal kesepakatan tapi soal penerapan aturan,” katanya saat ditemui usai rapat bersama Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 8 Mei 2025.
Menurut dia, penertiban truk ODOL tak bisa terus ditunda hanya karena persoalan dampak ekonomi. Ia berpendapat, nyawa manusia yang menjadi korban kecelakaan truk ODOL tidak sepatutnya hanya dihitung dengan angka. “Jangan dihadapkan perhitungan ekonomi dengan nyawa manusia,” kata Dudy.
Rencana kebijakan zero ODOL juga sudah dibicarakan dengan kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perindustrian. Menurut dia, masing-masing kementerian akan menerbitkan kebijakan yang lebih teknis. “Misalnya, Kemenhub mengeluarkan ketentuan-ketentuan lain atau Kementerian Perindustrian terkait dimensi (kendaraan). Akan kami bahas secara detil lagi,” katanya. (*)