KOMPAS— Ahli Desain Produk Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan bahwa pergeseran industri mobil internal combustion engine (ICE)— yakni mobil bermesin dengan bahan bakar minyak (BBM)— ke mobil listrik di dunia masih rendah. Kondisi tersebut tergambar dari program elektrifikasi kendaraan (electric vehicle, EV) di tiap negara yang segmen pasarnya rata-rata 10 persen ke bawah. Hanya di negara maju dengan tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) tinggi— seperti Belanda, Swedia, Islandia, dan Norwegia— yang bisa mencapai 30 persen market share ke atas.
“Dengan PDB 89 ribu dolar Amerika Serikat (AS) per-kapita, populasi mobil listrik di Norwegia sudah mencapai 80 persen dalam kurun waktu 30 tahun. Ini bisa terjadi karena mereka eksportir minyak terbesar di Eropa,” kata Yannes di Karawang (Jawa Barat), Kamis 5 September 2024.
“Sementara kita lihat Thailand, yang cukup cepat penetrasinya, dalam delapan tahun dia sudah bisa mencapai 10 persen. Indonesia masih tiga tahun, 2,92 persen. Namun PDB kita 4.500 dolar AS, sementara mereka 7.300 dolar AS,” kata dia. “Menariknya, AS yang kerap menggempor-gemporkan soal mobil listrik lewat Tesla-nya, baru mencapai market shareenam persen. Jadi, migrasi ekosistem mobil listrik tak semudah yang kita bayangkan,” kata Yannes lagi.
Bila suatu negara ingin meningkatkan penjualan mobil listrik, menurut Yannes, mereka harus meningkatkan PDB per kapita. Sebab, harga dan investasi terhadap kendaraan listrik kini masih mahal. Terlebih, mobil listrik sejatinya disiapkan untuk masyarakat perkotaan (urban) atau dengan perjalanan jarak dekat. Sekalipun ada pabrikan yang dapat menambah jarak tempuh baterai mobil, itu pun tak sampai dua kali lipat.
“Dengan kondisi di lapangan dan tantangannya, untuk capai 20 persen EV, PDB kita setidaknya harus mencapai 12 ribu dollar AS perkapita dulu (naik tiga kali lipat). Jadi masih jauh kalau dibilang 2045 harus mobil listrik (penjualan ICE disetop),” katanya. “Di negara dengan PDB perkapita yang lebih rendah, keterjangkauan merupakan penghalang utama untuk adopsi mobil listrik yang meluas. Berfokus hanya pada mobil listrik dapat membebani ekonomi dan membatasi akses ke transportasi pribadi bagi banyak orang,” kata Yannes.
Kemustahilan Indonesia menyetop penjualan mobil berbahan bakar fosil di 2045 juta juga tercermin dari peta jalan energi Tanah Air pada 2040. Di situ, komposisi mobil listrik diproyeksi masih kecil walau sedikit di atas biofuel. “Visi Indonesia 2045 memberikan target produksi BBN 238 ribu barel per hari pada tahun 2030,” katanya lagi.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin menyampaikan, dengan target netralitas karbon (Net Zero Emission, NZE) Indonesia pada 2060, harusnya pada 2045 tidak ada lagi mobil ICE yang dijual. Kendaraan roda empat berpenumpang yang baru, harus sudah beralih ke mobil listrik.
“Karena Indonesia punya target NZE pada 2060 atau lebih cepat, berarti suatu ketika kita harus mulai setop penjualan kendaraan beremisi,” kata dia. “Biasanya itu 15 tahun sebelum target NZE. Jadi Indonesia paling lambat 2045 semua kendaraan baru harus zero emissions vehicle,” lanjut Kaimuddin.
Saat ini dari semua negara di Asia Tenggara (ASEAN), hanya Indonesia yang belum menetapkan batas waktu penjualan mobil berbahan bakar fosil. Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, sudah ketok palu yaitu mulai 2035 dan/atau 2040. Artinya, apabila pemerintah lamban mengambil langkah, bukan hanya tidak memberi kepastian kepada pelaku usaha saja. Tapi bisa membuat Tanah Air sebagai “tempat sampah” mobil ICE. “Kalau kita tak punya (kejelasan waktu penjualan mobil konvensional) barang bisa ke sini semua,” kata Kaimuddin. (*)