JAKARTA— Energi merupakan isu krusial bagi kepentingan hidup umat manusia. Saat ini energi yang paling banyak digunakan masih berasal dari energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara. Tapi keterbatasan cadangan bahan bakar fosil, serta isu pemanasan global, membuat energi alternatif seperti energi baru terbarukan (EBT) menjadi subjek perhatian global sejak tahun 1980. Di tahun 2050 nanti, distribusi energi primer dunia diperkirakan bakal bergerak ke arah energi baru terbarukan (EBT).
Komisaris Pertamina EP Muhammad Ali memperkirakan industri migas (minyak dan gas) masih bertahan hingga 25-50 tahun lagi. Menurut Ali, kebutuhan minyak sebagai bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi untuk sektor transportasi, membuat industri minyak masih relevan hingga tahun 2050. Ia menambahkan sektor lain yang masih memerlukan migas adalah energi, manufaktur, dan gedung. Ali menyebutkan energi listrik di Indonesia hari ini masih banyak memakai tenaga batu bara. Ia melanjutkan, di tahun 2023 atau 2025, penggunaan batu bara sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan energi yang ramah lingkungan.
Industri migas saat ini mengalami tekanan karena wacana dan inovasi di sektor EBT. Ali mengatakan industri migas saat ini sudah menjadi industri masif dengan jumlah SDM yang melimpah hingga teknologi dan kapital yang besar. Namun, ketidakpastian di sektor ini sangat tinggi.
“Industri oil dan gas ini merupakan salah satu industri yang padat modal serta padat teknologi. Di mana, di dalam bumi banyak sekali hal-hal yang tak bisa dipastikan yang akan terjadi ketika kita sudah memetakan kemudian ngebor. Di situ apakah nanti akan keluar minyak, gas atau keluar air,” kata Ali dalam webinar Hari Bumi & Ulang Tahun IGI (Ikatan Guru Indonesia) Ke-54, Sabtu, 8 Mei 2021, seperti dikutip iNews.
Ali mengatakan industri migas pernah menjadi primadona dunia, dan perusahaan yang bergerak di bidang migas menjadi entitas bisnis yang paling besar daripada entitas di industri lain. Namun, tren ini sekarang telah bergeser. “Hari ini industri yang menggeser adalah teknologi, perdagangan, dan keuangan digital. Apalagi sekarang kita memasuki 4.0 yang semua serba digital,” kata Ali.
Dalam webinar, Ali menyampaikan mulai tahun 2020, potensi energi angin di Indonesia akan makin meningkat. Saat ini, Indonesia baru memiliki dua pembangkit listrik EBT bertenaga angin, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidrap (Sulawesi Selatan) dan PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto (Sulawesi Selatan). Kondisi angin pada sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dinilai bagus untuk pengembangan PLTB karena keadaan angin yang konstan. Selain tenaga angin, Ali juga menyebutkan peranan teknologi yang dapat memanfaatkan tenaga matahari, seperti solar thermaldan solar photovoltaics, akan makin besar di kemudian hari. (*)