JAKARTA— Kementerian Perindustrian mendorong percepatan penyelesaian perundingan dalam kerangka kerjasama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Setelah 11 putaran perundingan dilaksanakan sejak Maret 2016, diharapkan tahun ini IA-CEPA bisa difinalisasi.
“Kami berharap dengan rencana Perdana Menteri Australia datang ke Indonesia pada Juli nanti, IA-CEPA bisa ditandatangani. Pasalnya, sebagian besar isu terkait sektor industri yang dibahas sudah selesai dan disepakati kedua belah pihak,” bunyi keterangan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, awal Juni 2018.
Airlangga menyampaikan hal itu usai bertemu dengan Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan AO di Jakarta. Menperin menyebutkan, misalnya Australia sudah menyetujui jika Indonesia ingin menerapkan Tariff Rate Quota (TRQ) untuk produk baja gulungan canai panas atau dingin (hot/cold rolled steel coil).
“Namun untuk in-quota harus diberlakukan automatic import licensing. Selain itu, Australia bersedia mengeliminasi seluruh (100%) pos tarifnya saat perjanjian mulai berlaku,” katanya.
Airlangga meyakini kerjasama bilateral yang komprehensif ini akan meningkatkan nilai ekspor produk Indonesia ke Australia. “Bagi Indonesia, ekspor produk manufaktur yang tengah kita pacu adalah tekstil, clothing dan footwear. Jadi, kita sedang minta bea masuknya bisa diturunkan, karena sekarang dikenakan sebesar 10 sampai 17 persen. Kalau bisa dihapus atau menjadi nol persen,” katanya.
Kemenperin mencatat, volume perdagangan RI-Australia sepanjang tahun 2017 mencapai 8,53 miliar dolar AS, lebih tinggi dibanding 2016 di angka 8,45 miliar dolar AS. Sedangkan, total nilai perdagangan kedua negara pada periode Januari-Maret berkisar 2,03 miliar dolar AS. Selama ini, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Negara Kanguru tersebut, antara lain furnitur, produk kimia dan karet olahan, makanan dan minuman, tekstil, serta elektronik.
Airlangga menyampaikan pihaknya masih berkeinginan untuk dapat meningkatkan ekspor ke Australia berupa kendaraan dalam bentuk utuh (completely built up, CBU) baik itu yang mesin menggunakan bahan bakar maupun elektrik. “Karena industri automotif di sana tutup semua. Ini menjadi peluang bagi kita,” katanya.
Terkait mobil listrik, Australia masih meminta agar produk yang masuk ke negaranya adalah kendaraan dengan komponen lokal yang berasal dari kawasan ASEAN mencapai 40%, sementara Indonesia mengusulkan sekitar 20 sampai 30 persen. “Nah, itu yang masih dinegosiasikan,” katanya.
Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) I Gusti Putu Surywirawan menyatakan peluang ekspor kendaraan Indonesia ke pasar Australia cukup besar. Terlebih lagi, sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0, industri otomotif merupakan salah satu dari lima sektor manufaktur yang diprioritaskan menjadi percontohan pada tahap awal untuk implementasi industri 4.0 di Tanah Air.
“Di dalam roadmap tersebut, pemerintah akan memacu industri automotif nasional agar mampu menjadi champion untuk ekspor kendaraan ICE (internal combustion engine/mesin pembakaran dalam) dan EV (electric vehicle/kendaraan listrik),” katanya. (*)