ANTARA— Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa mulai Januari 2026 pemerintah tak memperpanjang insentif untuk mobil berbasis baterai listrik (battery electric vehicle, BEV) dari impor utuh (completely built-up, CBU). ”Insya Allah tak akan lagi kami keluarkan izin CBU, izin CBU dalam konteks skema investasi dengan mendapatkan manfaat (insentif),” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam pernyataan di Jakarta, Jumat 12 September 2025.
Sebelum ini pemerintah memberikan insentif untuk import CBU mobil listrik. Insentif inilah yang akan berakhir hingga akhir Desember 2025. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta turut memastikan insentif CBU impor untuk mobil listrik dengan skema investasi tak akan dilanjutkan lagi oleh pemerintah pada tahun 2026 depan.
Insentif tersebut selama ini berupa keringanan bea masuk dan keringanan PPnBM dan PPN. Insentif tersebut diberikan kepada para produsen mobil listrik impor CBU dengan syarat bahwa para produsen mobil listrik impor CBU tersebut harus melakukan proses produksi di Indonesia. Komposisi produksinya 1:1. Artinya mereka harus memproduksi mobil di Indonesia dengan jumlah yang sama dengan jumlah mobil lsitrik impor CBU yang mereka masukkan ke Indonesia sebelumnya (seperti ketika mendapatkan insentif).
Saat ini ada enam perusahaan penerima manfaat insentif importasi BEV. Mereka adalah PT National Assemblers (Citroen, AION, dan Maxus), PT BYD Auto Indonesia, PT Geely Motor Indonesia, PT VinFast Automobile Indonesia, PT Era Indusri Otomotif (Xpeng), dan PT Inchape Indomobil Energi Baru (GWM Ora). Enam perusahaan tersebut pernah menyatakan memiliki rencana investasi di tanah air sebesar Rp 15,52 triliun yang memiliki kapasitas produksi hingga mencapai 305 ribu unit sebagai imbal balik dari mengikuti program ini.
Kemenperin mendorong para penerima manfaat untuk merealisasikan produksinya secara domestik. Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono meminta produsen otomotif yang sudah menikmati insentif impor mobil listrik berbasis baterai dalam bentuk utuh untuk memenuhi kewajiban produksinya dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) mulai tahun 2026.
Mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027 para produsen wajib memproduksi mobil listrik di Indonesia dengan jumlah setara kuota impor CBU. Produksi ini harus menyesuaikan aturan TKDN yang sudah ditetapkan. “Dalam perjalanannya, perusahaan juga harus memperhatikan nilai, besaran nilai TKDN. Dari 40 persen harus secara bertahap naik menjadi 60 persen besaran nilai TKDN,” katanya.
Pada 22 November 2024 Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa insentif untuk kendaraan listrik masih sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri otomotif. Ia menilai industri otomotif memiliki ekosistem luas, mencakup backward dan forward linkage yang besar hingga penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Agus melihat perlunya insentif untuk meringankan beban konsumen. “Oleh sebab itu insentif-insentif itu di dalam menjawab untuk membuat konsumen tak berat,” kata dia.
Agus mengatakan pihaknya mengupayakan agar insentif untuk kendaraan listrik dapat terus berlanjut pada tahun depan. Selain itu, Kemenperin juga telah mengusulkan insentif untuk kendaraan hybrid. “Kita upayakan berlanjut. (Untuk aturannya) ini yang lagi kita bahas. Insentif kendaraan listrik, kemudian hybrid, nah itu besarannya seperti apa ini yang lagi kita bahas,” kata Agus.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), pada saat itu masih dipegang Yohannes Nangoi, mengatakan bahwa industri otomotif saat ini masih menghadapi berbagai tantangan. Tingginya suku bunga serta rencana penambahan pajak, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dinilainya berpotensi menghambat pertumbuhan industri otomotif.
Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian dapat memberikan stimulus untuk menjaga kelangsungan pasar kendaraan di Indonesia. Kelangsungan industri otomotif di Indonesia secara signifikan dan harus terus dijaga. “Oleh karena itu kita sangat mengharapkan perhatian dari pemerintah khususnya dari Kemenperin RI, untuk memberikan kemungkinan adanya stimulus untuk menjaga pasar kendaraan Indonesia,” kata Nangoi.
Dia menilai adanya stimulus atau insentif tersebut dapat memperkuat pertumbuhan industri otomotif di dalam negeri. “Jadi insentif untuk hybrid, apakah itu untuk ICE (internal combustion engine, mesin pembakaran internal), ataupun untuk listrik sama pentingnya buat kita,” kata Nangoi.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 yang merinci ketentuan insentif pajak ditanggung pemerintah untuk pembelian kendaraan listrik (electric vehicle, EV). Insentif pajak yang dimaksud yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
“Untuk menjaga keberlanjutan dalam mendorong kebijakan pemerintah dalam mendukung program kendaraan bermotor emisi karbon rendah dan memberikan dukungan kepada sektor industri yang memberikan multiplier effect tinggi, perlu dukungan pemerintah melalui kebijakan pemberian insentif fiskal berupa pajak ditanggung pemerintah,” bunyi pertimbangan PMK 12/2025, dikutip di Jakarta, Jumat 7 Februari 2025.
Terkait PPN DTP, insentif diberikan untuk kendaraan listrik berbasis baterai (KBL) roda empat dan bus tertentu yang memenuhi kriteria Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yakni mobil dan bus listrik dengan TKDN minimal 40 persen serta bus listrik dengan nilai TKDN pada rentang 20 hingga 40 persen. Rincian mobil dan bus listrik yang termasuk dalam insentif pajak DTP akan ditetapkan oleh menteri perindustrian. Terkait besaran insentif, PPN DTP yang berlaku untuk mobil dan bus listrik dengan TKDN minimal 40 persen adalah sebesar 10 persen dari harga jual. Sementara untuk bus listrik dengan TKDN 20 hingga 40 persen, insentif yang berlaku yaitu lima persen dari harga jual.
Di sisi lain, PPnBM DTP berlaku untuk kendaraan Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang termasuk mobil hibrida (hybrid), dengan rincian Full Hybrid, Mild Hybrid, dan Plug-in Hybrid. Kendaraan yang dimaksud adalah yang memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021.
Besaran insentif yang diberikan adalah tiga persen dari harga jual kendaraan, dengan syarat kendaraan telah terdaftar dalam skema yang ditetapkan. Agar kendaraan dapat menerima insentif ini, produsen harus memiliki surat penetapan kendaraan rendah emisi karbon dari Kementerian Perindustrian, yang juga bertugas menyampaikan daftar kendaraan yang memenuhi syarat kepada Kementerian Keuangan. Insentif PPN dan PPnBM DTP ini berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025, dan pemenuhannya harus dibuktikan dengan tanggal faktur pajak sesuai aturan perpajakan yang berlaku.
Ekosistem
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menekankan pentingnya membangun ekosistem kendaraan listrik (EV) yang komprehensif. “Kita juga perlu memastikan bahwa kita jangan hanya berpikir penggunaannya. Bahwa orang-orang Indonesia banyak yang berpindah ke EV. Tapi kita juga harus berpikir bagaimana ekosistemnya itu terbangun. Mulai dari pengisian daya, tetapi juga tidak kalah pentingnya dari industri,” kata dia.
Rahmat menilai industri otomotif memiliki manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia, sehingga perlu dipastikan bahwa transisi ke kendaraan listrik tak hanya mengandalkan produk impor. Dia mengatakan pemerintah memiliki strategi yang mencakup dua aspek yaitu demand side (permintaan) dan supply side (penawaran).
Pemerintah memberikan insentif seperti pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) untuk mobil listrik, dengan syarat memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Insentif ini tak berlaku bagi produk impor yang tidak memiliki komitmen untuk membangun ekosistem di Indonesia. Pemerintah membuka kesempatan bagi perusahaan otomotif untuk mengimpor kendaraan listrik dengan bebas bea masuk dan PPnBM, namun dengan syarat tertentu.
Perusahaan yang mengimpor kendaraan listrik harus berkomitmen untuk memproduksi kendaraan listrik di Indonesia dengan TKDN sesuai ketentuan. Jika komitmen ini tidak terpenuhi, perusahaan wajib mengembalikan bea masuk dan PPNBM yang telah dibebaskan melalui mekanisme garansi bank (bank guarantee). “Jadi misalnya, mereka impor dalam dua tahun, 2024 dan 2025 itu 10 ribu unit mobil. Di 2026 dan 2027, mereka akan berproduksi 10 ribu unit mobil juga dengan TKDN sesuai dengan yang berlaku di waktu itu,” kata Rachmat.
“Kalau mereka tidak memenuhi, saat ini pemerintah melalui Kementerian Investasi memegang bank guarantee. Jadi mereka harus bayar balik bea masuk dan PPnBM yang telah kita berikan. Jadi ini kita pikir bisa adil ya,” sambung dia.
Progres transisi ke kendaraan listrik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif. Pada tahun lalu, penjualan mobil listrik mencapai 4,98 persen dari total penjualan mobil nasional, atau sekitar 43 ribu unit sampai 44 ribu unit dari total 890 ribu unit. “Jadi kita berharap ke depan makin banyak lagi pengguna-pengguna kendaraan listrik itu. Apakah kita sudah selesai? Belum. Hari ini kita juga masih baru mulai,” katanya. (*)