Perkembangan Industri Otomotif

1960-1995

Kementerian Perindustrian Perdagangan mengeluarkan peraturan bersama tentang impor kendaraan bermotor, baik dalam keadaan utuh (completely-built up, CBU) ataupun terurai (completely-knocked down, CKD), serta tentang industri perakitan dan keagenan.

Pada saat itu mulai bermunculan industri perakitan serta industri-industri pendukung, seperti suku cadang, pengecetan, baterai (aki). Industri lokal sudah sanggup memproduksi jigs dan fixtures, serta melakukan proses pengecatan, las, trimming, dan metal finishing.

PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, agen merk Mitsubishi, muncul sebagai perusahaan pertama yang mengantongi izin sebagai pemegang merk (APM). Pada tahun ini pasar kendaraan bermotor pun mulai menggeliat, dengan pejualan tahunan sekitar 50.000 unit.
Pemerintah menerbitkan peraturan yang menyetop impor mobil utuh (CBU) dengan maksud untuk mendorong industri dalam negeri. Impor CBU hanya boleh dilakukan oleh APM yang sudah sanggup memproduksi suku cadang.

 

 

Pemerintah mengeluarkan paket peraturan yang terkenal dengan “Program Penanggalan Komponen”. Salah satu tujuan paket program ini adalah mengenakan pajak impor tinggi terhadap kendaraan yang belum menggunakan suku cadang buatan dalam negeri.

Pada masa-masa itu terdapat 35 merk kendaraan di pasar nasional, tapi daya beli masyarakat masih rendah akibat kondisi ekonomi nasional yang baru mulai bangkit. Pemerintah mengutamakan pengembangan mobil minibus (multi-purpose vehicle, MPV) dengan mengenakan pajak rendah untuk beberapa model seperti Toyota Kijang dan Mitsubishi Colt T 210, dan mengenakan pajak tinggi untuk jenis sedan.

Pabrik yang menghasilkan komponen seperti radiator, knalpot, per peredam, velg, jok dan interior, kabel, gasket komponen berbahan karet serta jigs makin berkembang di Tanah Air. Selain untuk menyuplai industri, komponen-komponen ini juga untuk spare parts atau layanan purnajual. Pasar mobil nasional juga mulai merambat naik sebanyak 72.000 unit pada 1976 dan 103.000 unit pada 1979.

Untuk mendorong industri komponen lokal, Pemerintah menerbitkan “Program Penanggalan Komponen” jilid dua. Ada pajak tinggi bagi sejumlah impor komponen. Industri pendukung mulai mampu memproduksi beberapa komponen penting seperti transmisi, kopling, mesin, sistem rem, pencetakan metal, sistem pengatur pintu.

Ada 27 merk mobil mengisi pasar nasional. Angka penjualan sempat melonjak hingga 208.000 unit pada 1981, penjualan tahunan turun lagi sampai 150.000 dari 170.000 di tahun-tahun berikutnya.

Pemerintah mengganti “Program Penanggalan Komponen” dengan “Program Insentif”, yang juga akrab disebut “Paket Kebijakan Otomotif 1993”. Industri kendaraan bermotor bisa menentukan komponen untuk diproduksi sendiri, dan untuk itu mereka mendapatkan pemotongan pajak impor, bahkan penghapusan sama sekali, tergantung seberapa banyak kandungan lokal pada mobil yang diproduksinya.

Produksi mesin, transmisi dan propeler terus berkembang. Pasarnya bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga diekspor. Ada 24 merk mobil meramaikan pasar domestik pada tahap ini. Dan membaiknya ekonomi ikut berperan mengangkat penjualan dari 159.000 unit pada 1989 menjadi 214.000 unit pada 1993, dan naik lagi 397.000 unit pada1995.

1996-2015

Pemerintah memutuskan mempercepat “Program Intensif” dan menggulirkan “Program Mobil Nasional”. Intinya, bahwa untuk mendapatkan potongan atau bahkan pembebasan bea impor, perusahaan otomotif mesti memiliki kandungan lokal 20% di tahun pertama produksi, 40% di tahun kedua, dan 60% di tahun ketiga.

Pembebasan pajak barang mewah untuk mobil dengan kandungan lokal sedikitnya 60% mendorong industri untuk melakukan investasi pabrik baru, seperti pabrik mesin dan casting, dengan hasil berupa produk setengah jadi.

“Program Mobil Nasional” juga mencakup produksi mobil merk Timor serta merk lain seperti Maleo, Perkasa, Kancil, dan Astra. Sempat berjalan tapi program ini berhenti sebentar kemudian. Pada masa itu terdapat 20 merk meramaikan pasar domestik.

Krisis keuangan memporak-porandakan ekonomi Asia, tak terkecuali Indonesia yang menderita paling parah dan perlu waktu lama untuk pulih. Nilai tukar rupiah anjlok drastis dari Rp 2.500 per dolar AS menjadi Rp 17.000 per dolar AS. Kerusuhan meledak di jalan-jalan kota besar.

Industri dan pasar otomotif nasional pun tak luput dari krisis. Sempat melambung dan memecahkan rekor penjualan hingga 392.000 unit pada 1997, pasar mobil domestik terjun bebas dan hanya sanggup mencetak penjualan 58.000 unit pada 1998.

Era pasar bebas global masuk Indonesia, ditandai dengan langkah Pemerintah menandatangani “Paket Kebijakan Otomotif 1999” untuk mendorong ekspor produk-produk otomotif, juga untuk mendorong kebangkitan kembali pasar domestik, melalui peningkatan produksi oleh industri pendukung otomotif. “Program Insentif” belakangan tak lagi diberlakukan dan bea impor turun di bawah separo dari sebelumnya.

Hasilnya, mobil-mobil CBU kembali banyak mengalir ke Indonesia, terutama di segmen mewah dengan munculnya Jaguar dan Lexus. Importir mobil CBU juga meningkat. Persaingan antar merk juga makin ketat, karena merk-merk produksi lokal harus bersaing dengan merk buatan negara lain. Bagi merk buatan lokal, ini memaksa mereka meningkatkan kualitas dan layanan pada konsumen.

Penjualan tahunan naik dari 94.000 unit pada 1999 menjadi 301.000 unit pada 2000, menyusul kebijakan Pemerintah membuka pasar domestik untuk produk impor. Angka penjualan terus naik hingga 483.000 unit pada 2004, dan bahkan kembali menciptakan pemecahan rekor 532.000 unit pada 2005 atau tujuh tahun setelah krisi keuangan 1998.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup menerbitkan peraturan tentang penggunaan standar emisi Euro-2 bagi kendaraan bermotor Indonesia. Peraturan ini mulai efektif pada 1 Januari 2005 untuk mobil baru serta 1 Januari 2007 untuk mobil yang sedang diproduksi saat itu.

Pemerintah menerbitkan kebijakan untuk menaikkan harga minyak sampai 120% pada 2005. Ini berpengaruh terhadap performa pasar domestik yang pada 2006 hanya sanggup mencetak penjualan 319.000 unit. Penjualan kembali naik pada 2007 menjadi 433.341 unit. Sedangkan ekspor CBU mencapai 60.267 unit, dan impor CBU 55.112 unit, atau terjadi surplus 5.155 unit.

Pada 2008, untuk pertama kali dalam sejarah industri otomotif nasional, pasar domestik lagi-lagi mencetak rekor baru penjualan 603.774 unit kendati tengah terjadi krisis keuangan global. Ekspor juga naik menjadi 100.982 unit, dan impor 72.646 unit. Indonesia pun tampil sebagai salah satu kekuatan otomotif ASEAN selain Thailand dan Malaysia.

Pemerintah meluncurkan Perpres No 28 tentang kebijakan industri nasional yang di dalamnya berisi kebijakan industri kendaraan bermotor.

Pada 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 59/M-IND/PER/5/2010 tentang Industri Kendaraan Bermotor. Dengan telah terbitnya peraturan tersebut maka Peraturan Menteri Perindustrian & Perdagangan Nomor 275/MPP/Kep/6/1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor dan Keputusan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka Nomor 024/SK/ILMEA/XI/2003 tentang Ketentuan Industri Perakitan & Tingkat Keteruraian Kendaraan Bermotor dan Komponen untuk Tujuan Perakitan dicabut dan dinyatakan dinyatakan tidak berlaku.

Sementara itu, untuk ekspor angkanya juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Ekspor berupa produk CBU, CKD, maupun komponen. Ekspor dalam bentuk CBU menunjukkan angka 56.669 unit (2009), 85.796 unit (2010), 107.932 unit (2011), dan 173.368 unit (2012). Ekspor CKD sebesar 53.140 unit (2009), 55.624 unit (2010), 83.709 unit (2011), dan 100.122 (2012). Sedangkan ekspor dalam bentuk komponen mencapai 232.648 pieces (2009), 353.950 pieces (2010), 48.170.428 pieces (2011), dan 55.504.758 pieces (2012).

Maraknya pasar juga ditandai dengan kenaikan volume impor, yakni 32.678 unit (2009), 76.520 unit (2010), 76.173 unit (2011), dan 125.873 unit (2012). Dan hingga 2012, industri otomotif Indonesia mencakup 37 brand.

Pemerintah meluncurkan kebijakan “Program Produksi”. Program tersebut terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama berupa program produksi kendaraan hemat energi dan harga terjangkau yang dituangkan melalui kebijakan melalui kebijakan industri yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2013.

Kelompok kedua berupa program pengembangan kendaraan bermotor dengan emisi rendah karbon yang menggunakan teknologi mesin (engine), antara lain advanced petrol & diesel engine, biofuel engine, dual fuel engine (petrol engine dan gas engine), hybrid engine, serta engine yang dedicated untuk CNG/LGP.

Hasil “Kebijakan Produksi” tersebut berupa pelaksanaan yang memunculkan produk kendaraan emisi rendah karbon dan ramah lingkungan yang sudah masuk pasar, di antaranya Astra Toyota Agya, Astra Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Suzuki Wagon R, dan Datsun Go+ Panca.

Pemerintah menerbitkan PP No 22/2014 untuk menggantikan PP No 41/2013 tentang PPn-BM dari 75% menjadi 125%.