PADANG— Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memilih lima sektor manufaktur domestik untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Lima sektor tersebut yakni industri makanan dan minuman, tekstil, petrokimia, elektronika, serta otomotif.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, sektor-sektor itu dipilih berdasarkan evaluasi dampak ekonomi serta kelayakan implementasi yang mencakup kontribusi produk domestik bruto (PDB), perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar.
“Lima sektor manufaktur yang menjadi andalan tersebut, dinilai mampu memberikan kontribusi signifikan hingga lebih dari 60 persen terhadap share ke PDB, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja,” kata Sigit dalam Workshop Pendalaman Kebijakan Industri, di Padang (Sumatra Barat), Selasa 8 Oktober 2019 seprti dikutip Republika.
Di industri otomotif, Kemenperin menilai kinerja sektor tersebut mulai bergerak naik signifikan dibanding 20 tahun lalu. Hal ini seiring terjadinya peningkatan investasi di dalam negeri, di mana sejumlah produsen global menjadikan Indonesia basis produksinya untuk mengisi pasar ekspor. Maka dari itu, pengembangan kendaraan listrik menjadi prioritas ke depan, terdapat revisi aturan mengenai pajak penjualan tas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor dengan emisi rendah. “Kalau emisinya rendah, PPnBM-nya akan rendah,” kata dia.
Industri makanan dan minuman dalam lima tahun terakhir kinerjanya konsisten positif melampaui dari pertumbuhan ekonomi. Sektor tersebut tumbuh rata-rata di atas delapan hingga sembilan persen. Bahkan, selama ini industri makanan dan minuman berperan penting dalam peningkatan nilai tambah bahan baku di dalam negeri. “Sektor ini mempunyai nilai tambah paling tinggi, karena seluruh komponen bahan bakunya sebagian besar itu berasal dari dalam negeri,” katanya.
Terkait industri tekstil dan pakaian, Sigit mengatakan sektor ini merupakan yang tertua struktur manufakturnya di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan program restrukturisasi mesin produksi yang lebih modern sehingga dapat memacu produktivitas dan daya saingnya. “Potensi kita, industri tesktil dan pakaian ini sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir. Kalau didorong dengan penerapan industri 4.0, kami optimistis bisa mengejar kapasitas produksi dari negara-negara kompetitor,” katanya.
Sementara itu, mengenai pengembangan di sektor industri kimia, pemerintah sedang gencar menarik investasi untuk memperkuat struktur manufaktur di dalam negeri. Dari 1998 belum ada investasi yang besar khususnya di industri petrokimia. Padahal produksi dari sektor tersebut banyak dibutuhkan untuk memasok kebutuhan bagi sektor lainnya.
Di industri elektronika, Kemenperin juga sedang mendongkrak kinerjanya melalui peningkatan investasi. “Kita masih memerlukan investasi yang cukup besar khususnya di sektor hulu, yang bisa menghasilkan berbagai komponen untuk memasok kebutuhan bagi sektor-sektor lainnya seperti industri otomotif,” kata dia.
Sigit menegaskan, pemerintah telah menyusun langkah strategis untuk menggenjot kinerja lima sektor tersebut, yang tertuang di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Peta jalan tersebut diyakini akan dapat mewujudkan visi Indonesia menjadi negara 10 besar yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada 2030.
Pihaknya optimistis, pelaksanaan industri 4.0, akan mengoptimalkan potensi-potensi lainnya seperti penambahan pertumbuhan ekonomi sekitar satu sampai dua persen, peningkatan kontribusi sektor terhadap PDB hingga 25 persen pada 2030, peningkatan ekspor bersih hingga 10 persen, serta mengisi kebutuhan tenaga kerja yang melek digital hingga 17 juta orang. Semua itu diharapkan dapat mendorong peningkatan nilai tambah terhadap PDB nasional hingga Rp 150 miliar pada 2025 mendatang. (*)