BISNIS— Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menyebut merek-merek yang mendapatkan insentif bebas bea masuk untuk impor utuh (completely built up, CBU) mobil listrik harus membuktikan komitmen produksi dalam negeri. Ketua I GAIKINDO Jongkie Sugiarto menyebut para pemangku kepentingan harus meyakinkan merek-merek mobil listrik untuk segera merakit maupun memproduksinya di Indonesia.
Hal ini sudah diatur oleh Perpres 79/2023 beserta aturan turunannya. “Peraturannya boleh mengimpor CBU, tapi mengharuskan merek-merek tersebut untuk memproduksi di Indonesia setelah dua tahun,” katanya awal Maret 2024.
Perpres 79/2023 beserta Peraturan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal 6/2023 telah mengatur impor CBU hanya berlaku sampai 31 Desember 2025. Setelahnya, para pabrikan yang sudah menerima insentif impor CBU tersebut diwajibkan untuk memproduksi lokal mobil listrik dengan tenggat waktu sampai 31 Desember 2027.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca dagang otomotif mencapai 952,94 juta dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2023. Itu turun 45,91 persen dibanding surplus 2022 yang menembus 1,76 miliar dolar AS.
Nilai ekspor untuk sektor otomotif dengan kode HS 87 tercatat mencapai 11,15 miliar dolar AS. Sedangkan untuk impor menembus 10,19 miliar dolar AS. Di satu sisi, impor untuk mobil listrik tercatat menembus 531,04 juta dolar AS sepanjang 2023. Impor terbanyak berasal dari Korea dengan nilai 328,31 juta dolar AS, China senilai 69,54 juta dolar AS, Jerman 68,51 juta dolar AS, dan Jepang 46,76 juta dolar AS.
Rincian impor telah diatur melalui PMK 10/2023 dengan pos tarif 8703.80.17, 8703.80.18, dan 8703.80.19; dan pos tarif 8703.80.97, 8703.80.98, dan 8703.80.99. Beralih ke data Januari 2024, nilai impor CBU mobil listrik tercatat mencapai 44,89 juta dolar AS dengan impor China menjadi yang paling besar senilai 21,47 juta dolar AS. Kemudian disusul oleh Korea dengan 21,45 juta dolar AS, Jerman 1,46 juta dolar AS, Inggris 389.668 dolar AS, Vietnam 56.356 dolar AS, Malaysia 51 ribu dolar AS, dan India 12.052 dolar AS.
“Mereka harus membuktikan komitmen untuk produksi dalam negeri dan memakai komponen dalam negeri sesuai peraturan yang berlaku,” katanya. (*)