Berita Berita APM Economy & Industry

Mazda Jajaki Peluang Buka Pabrik di Indonesia

JAKARTA – PT Eurokars Motor Indonesia (EMI)— agen pemegang merek (APM) Mazda di Indonesia— menyatakan masih mengevaluasi rencana pendirian pabrik di Indonesia. Selama ini Mazda yang bereda merupakan impor utuh dari Thailand, Jepang, atau Malaysia.

Presiden Direktur EMI Roy Arman Afandy menjelaskan bahwa penjajakan itu masih berada di tahap awal. Menurutnya, tidak mudah menentukan kepastian tersebut lantaran keputusan final akan melibatkan tiga pihak yakni Mazda sebagai prinsipal, EMI, dan Eurokars Group—perusahaan Singapuran yang memiliki EMI.

“Kami masih tetap diskusi dengan prinsipal. Karena ini kan melibatkan tiga pihak, satu kan kami sebagai agen pemegang merek, yang memasarkan Mazda, sementara pemegang saham Emi adalah Eurokars dari Singapura, dan kemudian prinsipal dari Jepang, jadi ada tiga pihak yang harus memastikan rencananya ini matang,” katanya seperti dikutip Bisnis, Sabtu 23 November 2019.

Dalam jangka pendek menurutnya Mazda masih berfokus pada pengembangan pangsa pasar di Indonesia. Hal itu akan menjadi penentu utama apakah Mazda akan membuat pabrik sendiri di Indonesia atau tidak.

 “Sebenarnya mereka ingin memperbesar market share, kalau dari sisi jumlah itu tidak pasti karena kan itu akan sesuai dengan kondisi market juga. Contoh Mazda itu dulu dua tahun lalu sekitar 0,5 persen, sekarang setelah dua tahun ini meningkat menjadi sekitar 0,7 persen sampai 0,8 persen. Kami harap bisa makin tinggi,” katanya.

Mazda saat ini sudah memiliki pabrik di Malaysia dan Thailand untuk pasar Asia Tenggara termasuk Indonesia. Selain mengandalkan impor dari dua negara tersebut, distribusi Mazda di Tanah Air juga mengandalkan kiriman dari Jepang. Hal ini disesuaikan dengan kapasitas produksi dan permintaan di masing-masing negara.

Meski demikian, tak menutup kemungkinan prinsipal akan membuka pabrik di Indonesia meski sudah memiliki pabrik di Asia Tenggara. Hal itu, lanjutnya, dapat disesuaikan dengan permintaan dan karakteristik konsumen yang khas di Indonesia.

“Nanti tergantung prinsipal, dan tergantung modelnya, kan dia bisa alokasi. Bagian mana yang dibiikin Indonesia, yang di Malaysia mana. Sementara ini stok kita masih campur karena mereka akan lihat kapasitas pabriknya di Jepang, Malaysia, dan Thailand, tergantung juga dengan permintaannya di pasar mereka masing-masing,” katanya.

Strategi mengandalkan impor cukup berisiko karena akan terpegaruhi fluktuasi nilai tukar dan harga logistik yang tinggi. Hal ini turut membuat biaya operasional dari tiap negara importir berbeda. Namun, EMI mengatakan sudah memiliki solusi untuk mengatasi hal itu.

“Agak sedikit beda dari sisi ongkos transportasinya, tapi harga jual kami sih tidak akan berubah karena customer. Untuk fluktuasi rupiah juga kami sudah melakukan hedging [lindung nilai] jadi relatif lebih stabil buat bisnis kami,” katanya. (Foto: English.vtv.vn)