INFOBANK— Pembiayaan otomotif termasuk salah satu lini bisnis yang memberikan kontribusi besar dari total pembiayaan industri multifinance di Indonesia, termasuk di industry otomotif. Kini, industri otomotif tengah menghadapi tantangan besar dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara mengungkapkan sejumlah dampak signifikan yang muncul seiring dengan penerapan POJK Nomor 22 Tahun 2023. Salah satu yang paling terasa adalah sikap defensif dari pelaku industri multifinance. Kenaikan uang muka (down payment, DP) secara langsung memengaruhi industri otomotif. Apalagi, selama masa pandemi Covid-19, produksi dan penjualan industri otomotif turun hingga 50 persen.
Kemudian, peningkatan suku bunga dari Amerika pada 2023 juga memperburuk situasi yang berdampak pada penurunan penjualan pada September dan Oktober. Ketika penjualnya terdampak, industrinya juga terdampak. “Begitu ada kenaikan DP, langsung ada imbas ke kita, langsung turun. Kemarin yang dari The Fed aja terdampak di bulan September dan Oktober 2023 (penjualan) turun. Memulihkannya juga nggak gampang,” ujar Kukuh dalam Seminar Nasional Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) di Jakarta, baru-baru ini.
Dalam era media sosial, lanjut Kukuh, investor luar negeri mengamati situasi dengan hati-hati. Terutama di tengah ketidakpastian politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024 pada tanggal 14 Februari. Menurutnya, ada investor yang tidak yakin dengan situasi di Indonesia, mereka memilih wait and see. Kondisi ini memberikan tekanan tambahan pada industri otomotif yang sudah bersaing ketat dengan negara tetangga seperti Thailand.
POJK 22 Tahun 2023 menjadi pukulan berat, dengan potensi perpindahan industri ke luar negeri. Keputusan ini, bisa memiliki dampak jangka panjang dan mengurangi daya saing Indonesia dalam industri otomotif regional. Setelah terjebak dalam target produksi 1 juta unit selama 10 tahun, Indonesia berusaha keluar dari pola tersebut, namun peraturan baru ini bisa menjadi hambatan besar.
“Sekarang dihantam lagi dengan masalah POJK 22 Tahun 2023. Kalau sekali ini ada industri kita yang di sini pindah ke luar negeri, nggak akan balik mereka,” kata Kukuh.
Kekhawatiran terbesar adalah pada segmen kendaraan dengan harga di bawah Rp200 sampai 300 juta. Jika terdampak, peraturan baru ini dapat mengakibatkan penurunan produksi, pengurangan tenaga kerja, dan berpotensi merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI). Ketua Bidang Komersial AISI, Sigit Kumala mengatakan penjualan sepeda motor di tahun 2023 mencatat pertumbuhan sebesar 19 persen, mencapai angka 2,6 juta unit. “Cuma penjualan kami belum bisa melampaui angka sebelum Covid-19,” katanya.
Dari sisi pembeli, Sigit mencatat bahwa 40 persen dari sepeda motor yang terjual digunakan untuk keperluan perdagangan, khususnya pada sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Ini menunjukkan kontribusi signifikan industri sepeda motor terhadap ekosistem bisnis kecil dan menengah di Indonesia.
AISI, sebagai bagian dari kewajiban pelaporan rutinnya, secara berkala memberikan laporan progress penjualan kepada Bank Indonesia (BI). BI memiliki ketertarikan khusus terhadap segmen menengah bawah dalam penjualan sepeda motor, karena dianggap sebagai salah satu barometer pertumbuhan ekonomi nasional. “Karena BI ingin tahu penjualan sepeda motor khususnya untuk segmen menengah bawah. Karena penjualan sepeda motor dianggap sebagai salah satu barometer pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Sigit.
Meski demikian, dia memberikan catatan terkait potensi dampak kenaikan DP di atas 30 persen. Saat ini, hanya 6 persen dari anggota AISI yang memiliki DP di atas 25 persen, sementara 94 persen anggota masih berada di bawah batas tersebut. “Kenaikan DP dapat berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap penjualan sepeda motor, dengan sekitar 40 persen anggota AISI yang mungkin terkena imbasnya,” katanya. (*)