“Apa yang perlu kita ketahui tentang kecepatan di jalan?” Kalimat itu adalah salah judul artikel di Sopir, majalah berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Yogyakarta pada awal tahun 1930-an. Artikel itu mengulas perbandingan kecepatan moda transportasi saat itu.
Gerobak sapi kecepatannya empat kilometer per jam, kereta kuda lima kilometer per jam, sepeda biasa 18 kilometer per jam, trem 35 kilometer per jam, “kereta cepat” 60 kilometer per jam, kapal laut 45 kilometer per jam, kuda balap 45 kilometer per jam, kereta “kluthuk” (kereta api uap) 45 kilometer per jam, kereta api cepat 60 kilometer per jam, kereta api ekspres 75 kilometer per jam, mobil di jalanan cukup 60 kilometer per jam, dan pesawat terbang 150 kilometer per jam.
Artikel lain yang kerap muncul di majalah itu adalah panduan merawat mobil hingga saran membeli mobil bekas. Ada pula saran untuk memulai bisnis mobil taksi pada masa itu. Ulasan tentang Majalah Sopir itu ditulis sejarawan Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (2006). Mrazek menjelaskan, perkembangan industri mobil akhirnya melahirkan pekerjaan sebagai sopir.
Kala itu sopir menjadi profesi yang dianggap oleh pribumi sebagai pekerjaan bergengsi. Mereka bahkan membentuk serikat pekerja sopir, tujuannya untuk mencapai masa depan sopir Indonesia yang lebih baik. Munculnya pekerjaan baru ini tak lepas dari lahirnya industri mobil pada masa kolonial. Pada Mei 1927 perusahaan NV General Motors Java Handel Maatschappij yang membuka pabrik di Tanjung Priok, Pelabuhan Batavia (sekarang Jakarta). Setahun kemudian 5.732 unit mobil Chevrolet dipasarkan dari pabrik General Motors di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), Singapura, Malaya (Malaysia), dan Siam (Thailand).
Pabrik mobik Chevrolet berdiri pada 1911 di Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini hasil kerjasama Louis Chevrolet dan William Durant, seorang pengusaha dan pendiri General Motors. Produk pertama Chevrolet adalah The Classic Six yang dibanderol 2.500 dolar AS. Pembangunan pabrik di Hindia Belanda itu mendapat sambutan baik dari publik. Salah seorang pembaca koran untuk pembaca Melayu berkomentar, “Kini, kita semua dapat melihat bagaimana kemajuan besar dan usaha manusia itu dan, bersama setiap hari, bagaimana semua itu makin dekat kepada kita sendiri.”
Industri mobil pun berkembang cukup cepat. Menurut catatan Mrazek, pada 1939, jumlah mobil di Hindia Belanda sudah mencapai 51.615 unit, tersebar di Pulau Jawa 37.500 unit, di Batavia 7.557 unit, di Bandung 4.945 unit, dan di Jepara 675 unit. Jumlah ini sudah termasuk truk yang jumlahnya 12.860 unit.
Saat itu truk menjadi salah satu penyebab menurunnya keuntungan perusahaan kereta api di Jawa. Pada 1933, penurunan pemasukan itu hingga 40 persen. Sebagian besar pemilik mobil itu adalah orang Eropa yang bermukim di Hindia Belanda. Sementara kaum bumiputra hanyalah menjadi sopir.
Surut di Masa Pasca Kemerdekaan
Pada saat Saat pendudukan Jepang (1942-1945), pabrik General Motors diambil alih dan operasional pabrik dihentikan sejak Maret 1942. General Motors pun menarik semua investasi di Hindia Belanda. Barulah, usai Perang Dunia Kedua, General Motors kembali ke Indonesia dan membuat cabang di Jakarta untuk mengoperasikan pabrik perakitan mobil. Kejayaan General Motors lewat produknya Chevrolet menjadi salah satu merek mobil yang familier di Indonesia. Beberapa seri Chevrolet yang terkenal di Indonesia antara lain Chevrolet Deluxe tahun 1952, Chevrolet Corvette tahun 1954, Chevrolet Bel Air tahun 1955, Chevrolet Nova tahun 1966, dan Chevrolet Impala tahun 1962.
Selain memproduksi Chevrolet, General Motors juga memproduksi merek mobil lain, salah satunya Buick 8 yang diluncurkan pada 1938. Dalam sejarahnya, Buick 8 menjadi mobil kepresidenan Indonesia pertama yang dipakai Sukarno. Pada 1960-an industri mobil di Indonesia mulai menggeliat. Muncul pemain-pemain besar baru di Tanah Air. Salah satu yang paling kuat adalah Astra Internasional, yang memegang beberapa merek dagang mobil-mobil Jepang. Gempuran mobil Jepang ini membuat Generals Motors limbung, dan sempat buka-tutup pabrik.
Sayangnya, setelah sekian lama merintis industri mobil di Indonesia, General Motors akhirnya mengundurkan diri dari persaingan dengan mobil Jepang. Pada Juni 2015 pabrik General Motors mengumumkan angkat kaki dari Indonesia. Alasannya, penjualan tidak berkembang. (Sumber: Tirto)