JAKARTA— Selama beberapa puluh biaya logistik darat dengan truk di Indonesia ditengarai tiak efisien dan bermasalah. Masalahnya adalah karena belum terkoneksinya semua moda angkutan-angkutan darat (jalan raya dan tol) dengan kereta api, angkutan penyeberangan, angkutan udara, dan angkutan laut. Selain juga belum terkoneksinya semua moda angkutan, sistem logistik Indonesia juga tak efisien karena terus dilanggarnya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang oleh Pemerintah Daerah, Swasta dan Pemerintah Pusat.
Berbagai permasalahan di atas yang tak kunjung selesai menyebabkan pembangunan infrastruktur pelabuhan, bandar udara (bandara), jaringan rel kereta api (jalur ganda) dan jalan tol (Trans Jawa dan Trans Sumatra) belum dapat meningkatkan optimalisasi sistem logistik di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan banyaknya pungutan liar (pungli) yang jika ditotal jumlahnya mencapai triliunan rupiah per tahun dan membuat sistem logistik barang di Indonesia masih terpuruk.
Tulisan ini hanya akan membahas persoalan angkutan logistik melalui jalan raya (arteri) dan tol yang hingga saat ini belum dapat meningkatkan volume angkutan logistik dari Timur ke Barat dan sebaliknya. Kita berharap dalam tiga tahun ke depan fungsi jalan tol sebagai prasarana angkutan logistik darat dapat berkembang pesat, asalkan mulai sekarang dilakukan koordinasi total dengan semua pemangku kepentingan.
Belum banyaknya arus angkutan logistik yang menggunakan jalan tol harus segera dapat diatasi, salah satunya adalah maraknya pelanggaran ukuran dan tonase truk (over dimension over load, ODOL) ) terkait dengan pengembangan jembatan timbang wave in motion (WIM) oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).
ODOL sudah menjadi budaya di dunia logistik angkutan truk, meskipun sudah ada Undang-undang No. 22 Tahun 2009dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2007 budaya ODOL terus berkembang. Di jalur Sumatra dan Jawa sepertinya sudah sulit menemukan truk yang tidak di-ODOL-kan. ODOL tak dilakukan hanya oleh pemilik atau pengusaha truk, tetapi juga oleh badan usaha milik pemerintah (BUMN), industri, petani, pedagang dan sebagainya. Akibatnya pembangunan tol trans Jawa belum secara optimal menjadi motor ekonomi seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Tulisan ini mencoba sumbang saran bagaimana mengoptimalkan jalan tol sebagai prasarana logistik yang handal melalui penertiban truk ODOL sesuai dengan peraturan yang berlaku.
ODOL dan Logistik
Upaya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menindak truk ODOL sepertinya akan menghadapi banyak kendala; tak saja dari pengusaha truk atau transporter, tetapi juga dari kalangan industri berat (semen, baja, pupuk dan sebagainya) yang sebagian besar merupakan BUMN. Para pengusaha truk skala kecil dan sedang pasti menolak ditertibkan jika pengusaha besar dan BUMN keberatan menaati peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan surat dari Direktur Angkutan Jalan bulan Maret 2019, bahwa Kemenhub akan memberlakukan peraturan yang ada secepatnya. Truk diberikan batas toleransi pelanggaran muatan lebih sampai 40%. Muatan lebih atau sama dengan 40 persen akan ditilang. Truk bermuatan barang penting (semen, pupuk dan baja) jika melanggar Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2014 dengan mengangkut muatan lebih dari 100 persen akan ditindak dan dilakukan pemindahan kelebihan muatan atau dilarang meneruskan perjalanan terhitung mulai 1 Agustus 2019. Jika muatan melebihi 65 persen akan ditilang dan dilakukan pemindahan kelebihan muatan atau dilarang meneruskan perjalanan terhitung mulai 1 November 2019.
Untuk truk bermuatan sembako, batas toleransi pelanggaran muatan lebih sampai 50 persen. Muatan lebih atau sama dengan 50 persen akan ditilang. Muatan lebih dari 100 persen akan ditilang dan dilakukan pemindahan kelebihan muatan (transfer muatan) atau dilarang meneruskan perjalanan. Peraturan ini akan mulai diterapkan 1 November 2019. Muatan lebih dari 75 persen akan ditilang dan dilakukan pemindahan kelebihan muatan (transfer muatan) atau dilarang meneruskan perjalanan. Peraturan ini akan dikenakan mulai 1 November 2019.
Suksesnya penerapan peraturan tersebut harus melalui kesepakatan dengan multisektor. Jika tak, maka bisa dipastikan kebijakan ini tak akan berjalan. Kesepakatan harus terjadi antara Kemenhub (sebagai regulator) dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan (Badan Kebijakan Fiskal), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR/BPJT, Korlantas POLRI dan Kementerian BUMN/BUJT. Dalam catatan saya, belum ada kesepakatan multisektor makanya penegakan hukum terhadap ODOL belum efektif.
Penerapan kebijakan ODOL akan berdampak pada ekonomi, sosial dan finansial dari multipihak yang cukup signifikan, seperti: (1) kepadatan atau beban lalulintas dengan bertambahnya armada truk hingga mencapai sekitar 15.000 truk; (2) bertambahnya ongkos angkut sekitar Rp 9 triliun; (3) dan bertambahnya jumlah awak yang berkompeten.
Sebagai contoh di sektor industri semen, implementasi kebijakan ODOL secara penuh akan ada konsekuensi yang harus diperhitungkan, antara lain penambahan sekitar 3.000 truk lebih. Lalu akan ada penambahan ongkos angkut sekitar Rp 3,5 triliun, kemudian akan ada penambahan titik distribusi dan yang paling penting harus ada koordinasi pemanfaatan moda transportasi kereta api (double/double double track, rel masuk pelabuhan), kapal laut/ penyeberangan (modifikasi pelabuhan, penambahan kapal). Interkoneksi moda harus dapat mengefisiensikan sistem loading-unloading antarmoda supaya ekonomis.
Jika tidak ada kesepakatan antarsektor, penerapan kebijakan ODOL akan berdampak langsung pada: (1) kenaikan biaya logistik akibat kenaikan ongkos angkut yang mencapai 100 persen; (2) munculnya potensi kelangkaan produk (misalnya, semen) karena kekurangan armada angkutan selama masa transisi; (3) penambahan jumlah armada dalam jumlah besar akan mengakibatkan kepadatan lalu lintas karena moda alternatif (misalnya kereta api atau kapal laut) butuh waktu dan tidak dapat sepenuhnya menggantikan moda angkutan darat (truk). Penambahan antrean kendaraan di beberapa titik distribusi, mulai loading dan unloading, akan menimbulkan kemacetan di wilayah tersebut.
Saran Bagi Pemerintah
Sekali lagi kesepakatan multisektor harus disepakati terlebih dahulu sebelum menertibkan ODOL. Kedua, toleransi 100 persen terhadap jumlah berat yang diizinkan (JBI) harus sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 dan sesuai dengan jalan kelas satu, dapat diberikan dalam jangka waktu satu tahun, sehingga industri dapat melakukan persiapan dan kebijakan tetap dapat diterapkankan.
Ketiga, untuk truk angkutan curah (semen, minyak sawit) yang saat ini sudah ada, mengingat sulitnya modifikasi dimensi serta pertimbangan safety dalam proses operasionalnya, saya mengusulkan supaya ketentuan ODOL tidak diterapkan dulu, tetapi segera lakukan evaluasi lanjut untuk mendapatkan cara yang tepat menangani kasus ODOL curah. Sementara untuk pengadaan unit baru akan mengikuti ketentuan ODOL.
Dengan langkah-langkah tersebut, semoga implementasi kebijakan ODOL dapat berjalan lancar dan semua pihak melaksanakan dengan patuh. Tentunya regulator harus tegas di lapangan. Jangan ada lagi pungli sebagai cara penyelesaian pelanggaran ODOL di jalan. (Foto Tribunnews, Detik, Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen)