JAKARTA— Neraca perdagangan antara Indonesia dengan Vietnam tiga tahun belakangan (2016 – 2018) mengalami pertumbuhan. Berdasar data International Monetary Fund, pertumbuhannya lebih dari 66 persen dengan nilai surplus 1,3 juta dolar Amerika Setikat (AS). Kendati demikian, Vietnam merasa belum puas karena dibandingkan Indonesia, pertumbuhannya belum begitu besar.
Pada periode tersebut, ekspor Indonesia naik sampai 35,1 persen sedangkan Vietnam hanya 23,4 persen. Kondisi ini membuat Vietnam terus lakukan evaluasi hingga pada akhirnya, muncul kebijakan non tarif di 2018, yaitu regulasi Decree No 116/2017/ND-CP (Decree on Requirements for Manufacturing, Assembly and Import of Motor Vehicles and Trade in Motor Vehicle Warranty and Maintenance Services).
Vietnam juga berencana menerapkan pajak konsumsi spesial (special consumption tax, SCT) dalam waktu dekat supaya setiap barang yang diekspor memiliki harga lebih tinggi dibandingkan produk dalam negerinya. Imbas diterapkannya Aturan No 116, ekspor otomotif Indonesia turun sebesar delapan persen dari 294 juta dolar AS menjadi 270 juta dolar AS.
“Sejak adanya pembebasan tarif, Vietnam kalah bersaing tak terkecuali untuk bahan baku dan otomotif. Sehingga, mereka berupaya membatasi ekspor dan merangsang industri untuk mulai investasi (bangun pabrik) di sana,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Ibnu Hadi di Jakarta, belum lama ini.
Upaya melepaskan ketergantungan pada Indonesia dan Thailand sebagai eksportir utama khususnya di industri otomotif ini, menurut Ibnu, patut dikawal. Sebab, potensi terpangkasnya ekspor sangat besar. Sebagaimana diketahui, ekspor kendaraan merupakan salah satu komoditas utama Indonesia ke Vietnam setelah batu bara dan minyak.
“Inilah yang jadi salah satu faktor mengapa Mitsubishi Motors Corporation berencana untuk membuat fasilitas perakitan Xpander di Vietnam. Mereka ingin menyiasati berbagai regulasi di Vietnam,” katanya.
Ancaman Vietnam ini juga diperkuat dari berbagai aspek yang mulai dikokohkan agar jadi daya tarik tersendiri bagi para investor. Mulai dari waktu perijinan pendirian usaha, lahan yang diberikan cuma-cuma, sampai upah buruh di bawah rata-rata. Ibnu menyampaikan, rata-rata upah buruh di Vietnam ialah sekitar 90 sampai 120 dolar AS per bulan, atau setara dengan Rp 1.300.000 sampai Rp 1.680.000 (1 dolar AS = Rp 14.000).
“Kalau di Hanoi, UMR masih di 210 dolar AS (sekitar Rp 2.950.000). Memang rata-rata masih di bawah Indonesia,” katanya.
Selanjutnya, untuk tanah pendirian usaha, pemerintah Vietnam bisa memberikannya secara gratis. Persyaratannya, industri tersebut harus berkontribusi guna menumbuhkan pembangunan negara. “Pada dasarnya, semua tanah di Vietnam adalah milik negara. Jadi, tanah bisa diberikan kepada investor dengan jangka waktu tertentu kapan saja jika memang industri tersebut jadi fokus pembangunan utama. Biaya yang dikeluarkan terkadang hanya untuk administrasi,” kata Ibnu.
Vietnam juga hanya memiliki dua perizinan untuk investor yaitu, perizinan investasi dan sertifikasi usaha. Rata-rata, keduanya bisa diurus dalam waktu delapan hari kerja. Bahkan bisa lebih cepat karena pengurusan hanya di level provinsi, tak perlu ke pemerintah pusat.
“Dibandingkan dengan Indonesia, baik dari bahan baku, harga tanah, perizinan, utilitas, Vietnam unggul. Walau begitu, kita akan terus lakukan komunikasi supaya ekspor Indonesia ke Vietnam tetap terjaga,” katanya. (*)