JAKARTA— Presiden Joko Widodo meminta kepada industri mobil yang beroperasi di Indonesia agar ekspor dari Indonesia mencapai satu juta unit di tahun 2024. Ia menyampaikan keinginan itu pada saat menghadiri acara pelepasan ekspor perdana mobil niaga (angkutan barang) Isuzu Traga di Kawasan Industri Suryacipta, Karawang Timur (Jawa Barat), Kamis 12 Desember 2019.
Presiden menyebut sepanjang 2019 sektor otomotif Indonesia telah membukukan angka ekspor kurang lebih 300 ribu unit ke negara-negara lain. Mampukah Indonesia mencapai target ekspor ini?
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Yohannes Nangoi menganggap ekspor satu juta mobil “bukan angka yang mustahil”. Indonesia menurutnya memiliki kapasitas untuk mencapai hal tersebut. Yohannes menyebut kapasitas produksi Indonesia pada 2019 mendapai 2,3 juta unit kendaraan, sementara diserap oleh pemakai lokal sekitar 1,1 juta unit dan diekspor sekitar 300 ribu unit.
“Berarti baru terpakai 1,4 juta masih ada 900 ribu lagi kapasitas pabrik kita yang mungkin bisa dimanfaatkan industrinya untuk ekspor,” kata Yohannes seperti dikutip DW Indonesia.
Yohannes menyebut dalam rangka mencapai keberhasilan ekspor, Indonesia terutama perlu melakukan tiga hal. Pertama, dari segi kemampuan produksi, Industri otomotif menurutnya perlu memperbanyak model mobil yang dapat diterima oleh pasar dunia. “Kita bikin model yang banyak, sedan ada, MPV-nya ada, SUV-nya ada, dan kualitasnya bagus dengan emisi gas buangnya bersih, ini tentunya bisa dicapai,” kata Yohannes.
Kedua, Yohannes mengatakan perlu ada dukungan dari pemerintah untuk “membuka hubungan dagang sebanyak mungkin dengan negara-negara lain supaya bisa melakukan ekspor”. Ketiga, menurutnya hal yang penting adalah dukungan dari principal atau para pemegang merk.
“Datangi yang namanya direksi dari principal kita di Jepang, di Korea. Kita datangi mereka dan bilang tolong jumlah negaranya diperbanyak. Saat ini Isuzu Traga misalnya cuma diekspor ke Filipina, tapi kalau ditambah dengan Vietnam, Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, tentu volume-nya bisa naik,” katanya.
“Kalau itu dilakukan, angka 1 juta bukan angka yang mustahil karena kapasitas kita punya,” katanya.
Pengamat otomotif Fitra Eri mengatakan, ada perbedaan struktur pajak di Indonesia dengan negara-negara lain di dunia yang membuat kebutuhan mobil dalam negeri dan luar negeri berbeda. Ia mencontohkan bahwa saat ini mobil jenis sedan tak diminati di Indonesia karena tak menguntungkan dari sisi pajak, berbeda dengan luar negeri yang justru menarik pajak ringan untuk mobil jenis sedan. “Itu sedikit menghambat ekspor kita,” katanya.
Ia mengatakan perlu adanya penyamaan kebutuhan pasar dalam negeri dengan kebutuhan pasar global dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai basis produksi besar untuk pasar ekspor.Target ekspor dari Presiden Joko Widodo dia nilai sebagai sebuah “target optimis” karena dibarengi dengan kebijakan pajak yang mendukung. Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mengeluarkan harmonisasi skema Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor di Indonesia dengan menghapuskan diskriminasi atas pengenaan pajak mobil jenis sedan.
Berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang dikenai PPnBM, dasar pengenaan tarif PPnBM tidak lagi pada bentuk bodi kendaraan, melainkan besaran emisi gas buang atau efisiensi bahan bakarnya. Peraturan ini mulai berlaku pada 2021 mendatang.
“Orang akan lihat, sekarang mobil itu berubah peta harganya, sedan yang tadinya tidak menarik jadi lebih menarik sekarang. Nah, ketika permintaan meningkat maka produksi mobil juga akan meningkat,” kata Fitra. “Ketika jenis yang diminati masyarakat itu mirip dengan jenis yang diminati oleh masyarakat luar negeri atau global, kemungkinan ekspor kita, atau menjadi basis produksi, lebih besar,” katanya.
Ia mengemukakan bahwa kepercayaan investor untuk menentukan Indonesia sebagai basis produksi juga menjadi faktor besar dalam rangka mencapai keberhasilan ekspor. “Principal lebih nyaman berinvestasi di Thailand, karena kebijakannya tak berubah-ubah. Itu penting sekali: kepastian kebijakan,” katanya. “Tak ada alasan untuk kita tak lebih besar dari Thailand, tinggal bagaimana membuat investor itu percaya untuk menanam modalnya di Indonesia,” katanya. (*)