JAKARTA— Pemerintah maupun produsen otomotif didorong untuk mengembangkan penggunaan bahan bakar alternatif dari bahan tumbuhan (biofuel). Secara global, istilah ini identik dengan bahan bakar fleksibel yang digunakan pada flexy engine. Sementara di Indonesia, bahan bakar fleksibel ini mirip juga dengan bahan bakar biofuel yang sudah diwujudkan pada biodiesel.
Kukuh Kumara (Sekretaris Umum GAIKINDO) mengatakan, bahan bakar alternatif dapat digunakan sebagai perpindahan menuju kendaraan listrik. Sekaligus menjadi solusi pengganti bahan bakar fosil. “Intinya kita siap ke sana, tadi sudah disinggung mengenai electric vehicle, transisinya. Tapi ada yang menarik, karena yang jarang disebut adalah bio fuel,” kata Kukuh, dalam webinar The Indonesia 2023 Summit: Rebuild the Economy, yang dilansir pada Senin 31 Oktober 2022 seperti dikutip KOMPAS.
“Kita punya etanol, kita punya minyak sawit (CPO) yang semuanya bisa digunakan sebagai pengganti fosil fuel atau sebagai tambahan. Itu kita anggap sebagai bahan bakar baru terbarukan, dan ini belum dioptimalkan,” kata dia.
Menurut Kukuh, pengembangan bahan bakar alternatif ini sebetulnya sudah cukup lama dilakukan, bahkan sejak 20 tahun yang lalu. “Namun gregetnya belum ada, kalah dengan yang sekarang electric vehicle,” kata Kukuh.
Padahal pengembangan mesin dengan bahan bakar alternatif ini juga menjadi transisi yang lebih masuk akal bagi industri komponen.
Kusharijono, Direktur PT Astra Otoparts, mengatakan, untuk mencapai netralitas karbon tidak hanya bisa dicapai dengan kendaraan listrik semata. Namun juga bahan bakar nabati alias biofuel. “Nett zero ini bisa dari ICE (internal combustion engine) yang makin seefisien mungkin, pakai biofuel, bioetanol, yang sebenarnya kalau seperti itu pengaruhnya ke industri komponen tidak terlalu besar. Karena part komponennya masih sama,” kata Kusharijono, pada kesempatan yang sama.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi industri komponen pada tahun depan adalah tren elektrifikasi. “Tapi kalau kita bicara elektrifikasi, maka beberapa komponen major, industri komponen harus lakukan transisi,” kata Kusharijono. “Kami harus lakukan sedikit perubahan di produk kami dan itu perlu waktu, perlu dana dan perlu riset. Kira-kira hampir 40 persen dari industri komponen yang saat ini mungkin ada di mesin,” kata dia. (*)