JAKARTA— Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menanggapi hasil perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diumumkan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia kehilangan hampir Rp 100 triliun per tahun karena kemacetan di wilayah Jabodetabek.
Menurut Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiharto, kemacetan di kota-kota besar disebabkan semrawutnya infrastruktur jalan dan manajemen lalu lintas atau traffic management yang tidak maksimal. Pertumbuhan kendaraan bermotor dianggap mengalahkan pertumbuhan jalan dan infrastruktur lainnya yang berimbas meningkatkan ‘neraka’ di jalan.
“Macet ya harus dicarikan jalan keluar. Lihat saja traffic management. Kita harus lihat pembangunan jalan. Kalau lahan tidak ada, ya bikin simpang susun. Itu hal yang menyangkut pembangunan infrastruktur,” kata Jongkie seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu 9 Januari 2019
Kata Jongkie kemacetan yang terjadi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta dapat diatasi dengan membangun infrastruktur jalan, dan sebaliknya bukan menyalahkan jumlah kendaraan yang beredar. Hal penting lainnya adalah disiplin berkendara yang baik dan benar penyumbang untuk mengurangi kemacetan. Selama ini, menurut pengamatan Gaikindo, ulah pengemudi yang tak tertib lalu lintas justru menciptakan kemacetan.
“Nah yang seperti itu harus dicarikan jalan keluarnya. Disiplin lalu lintas ya, itu masih banyak angkutan umum ngetem (menunggu penumpang di pinggir jalan). Akibatnya apa, yang tadinya tiga jalur, jadi satu jalur. Dua jalur dibuat ngetem. Itu yang harus dibenahi,” kata Jongkie.
Ujung dari kemacetan itu disebut menyebabkan uang triliunan rupiah ‘menguap’. Karena itu Presiden Jokowi menginginkan agar transportasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) bisa segara terintegrasi. Jika itu tercipta, diharapkan mendorong masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal.
Diyakini Jongkie, dengan infrastruktur jalan yang memadai dianggap bisa menghemat penggunaan bahan bakar. “Itu jadi seperti pemborosan pemakaian bahan bakar (akibat macet),” kata Jongkie.
Industri otomotif termasuk yang ‘disorot’ karena dianggap menjadi biang kemacetan di ibu kota, melihat permintaan kendaraan lebih banyak daripada pertumbuhan jalan, khususnya di Jakarta dan daerah penyangga seperti Tangerang, Bogor, Bekasi.
Misalnya Toyota sebagai perusahaan mobil dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Pada 2017, total wholesales (penjualan dari pabrik ke dealer) Toyota mencapai 371.332 unit dan permintaan untuk Jabodetabek sebesar 30 persen dari total penjualan nasional. Sementara permintaan kendaraan merek Honda paling banyak di Indonesia berasal dari Jabodetabek, yaitu sekitar 20 persen. Permintaan mobil ini belum lagi ditambah dengan jumlah sepeda motor dan kendaraan lain.
Direktur Pemasaran dan Layanan Purna Jual Honda Prospect Motor (HPM) Jonfis Fandy mengatakan bahwa industri otomotif di Indonesia masih menunjukkan tren positif. Menurut Jonfis, yang perlu diantisipasi dengan peningkatan penjualan otomotif ini, yaitu dengan meningkatkan infrastruktur jalan dan memaksimalkan transportasi jalan.
“(Peningkatan penjualan otomotif) Menunjukkan adanya perkembangan dan kemajuan negara tersebut. Kadang memang terjadi seperti balapan antara transportasi dan infrastruktur. Kalau tidak diatasi kemacetan, ya akan terjadi kerugian yang besar. Untuk itulah pemerintah, produsen dan juga masyarakat pengguna sama-sama berupaya mengatasi nya,” kata Jonfis.
Jadi, kata Jongkie, ia tak setuju jumlah kendaraan di ibu kota justru terus meningkatkan kemacetan. Yang perlu dibenahi seperti dikatakan Jongkie adalah manajemen lalu lintas secara menyeluruh di ibu kota Jakarta, dan wilayah penopang Jakarta. “Semua tidak hanya di kota besar ya. Kota kecil juga demikian. Harus sudah mulai diperhatikan, dibenahi. Harus dipikirkan biar di luar kota Jakarta misalnya,” katanya. (*)