JAKARTA– Hengkangnya sejumlah produsen mobil dari pasar Indonesia masih saja terjadi. Kabar paling baru adalah ketika manajemen PT Nissan Motor Indonesia yang menaungi bisnis mobil Datsun resmi mengumumkan penghentian produksi mobil tersebut di Indonesia. Sebelum itu bebererapa produsen juga menyatakan rehat dulu dari pasar mobil Indonesia, seperti Chevrolet dan Ford (Amerika Serikat). Dan jauh lagi sebelum itu juga pernah hadir pula merek mobil Land Rover (Inggris) serta Chery (China).
Meski begitu, beberapa merek mobil yang sebelumnya sudah angkat kaki dari Indonesia, mengumumkan kembali hadir di sini. Misalnya saja, KIA yang menggandeng PT Kreta Indo Artha (KIA) yang kembali menjajal pasar Indonesia dengan meluncurkan line up terbarunya yang sarat teknologi canggih.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menilai hengkang lalu masuknya lagi merek-merek mobil ke Indonesia adalah wajar. Pasalnya, tak semua pengusaha otomotif mampu bersaing di pasar Indonesia yang merupakan ketiga terbesar di Asia Tenggara. Sekretaris Umum GAIKINDO Kukuh Kumara menjelaskan sejatinya bisnis otomotif memerlukan komitmen panjang.
“Mulai dari produksi hingga penjualan, komitmen yang harus dipegang pengusaha otomotif harus jelas, tidak bisa hanya melihat prospek bisnis lima tahun mendatang, harus sampai 25 tahun ke depan,” katanya seperti dikutip Kontan.co.id, Selasa 31 Maret 2020.
Sebab menurutnya kalau hanya memikirkan komitmen lima tahun saja, baru ganti model sehingga belum tentu sukses. Kukuh menegaskan bisnis otomotif bukan seperti jual putus laiknya makanan minuman. Di mana, mobil murah belum tentu dibeli, apalagi yang mahal. Oleh karenanya, pengusaha otomotif perlu modal data pasar yang akurat serta komitmen yang jelas, “Tak bisa kemudian satu atau dua tahun cabut,” katanya.
Pengusaha otomotif yang ingin masuk ke Indonesia harus mempelajari segmen mana yang mau dibidik, strateginya, portofolio produk, dan masih banyak lainnya. Sebab mata rantai tidak bisa hanya produksi. Banyak kejadian seperti beberapa merek mobil masuk ke Indonesia, lalu tidak mampu bersaing sehingga penjualannya turun, lantas hengkang. Kemudian saat melihat pasar otomotif dalam negeri kembali bergairah dan potensinya bagus, mereka masuk lagi.
Namun sayang, mereka masuknya terlambat dan ga punya komitmen jangka panjang alias hanya cari untung sehingga tidak bertahan lama. Kukuh mencontohkan, ada merek mobil yang pernah sukses meraup pasar Indonesia, sayangnya mereka tidak bisa memelihara momentum. Mulai dari launching sampai beberapa tahun bisnis di Indonesia modelnya monoton sehingga masyarakat jenuh. “Lalu penjualan akan drop dan untuk memulihkan lagi susah,” kata Kukuh.
Meski demikian dia tak menampik keluar masuknya merek mobil ke Indonesia adalah hal yang wajar. Ibarat sedang mengetes pasar, merek mobil tersebut sembari menjual juga mempelajari pasar Indonesia dengan mencoba strategi yang berbeda. Potensi otomotif di Indonesia memang sangat besar. Rasio kepemilikan mobil masih 99 mobil per 1.000 penduduk. Artinya kalau menghitung seorang punya satu mobil saja, ada potensi pasar 260 ribu unit. Lalu kalau dikalikan dua, potensi pasarnya tentu makin besar.
Potensi ini tentu mengikuti pengembangan infrastruktur ke daerah-daerah sehingga pasarnya tidak hanya fokus di Jawa saja. “Tinggal bagaimana pabrikan atau pelaku bisnis otomotif dengan jeli melihat itu,” kata Kukuh. (*)