Artikel Bahan Bakar & Emisi Berita Economy & Industry Teknologi Transportasi

Geliat, Prospek, dan Tantangan Industri Otomotif Indonesia

JAKARTA— Dalam beberapa tahun terakhir, industri otomotif nasional menunjukkan perkembangan yang terbilang atraktif. Ini merupakan bagian dari imbas positif pertumbuhan jumlah kelas menengah Indonesia selama satu dasawarsa terakhir.

Bank Dunia menyebut, jumlah kelas menengah pada 2002 hanya mencapai tujuh persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu melonjak signifikan pada 2017 menjadi 22 persen. Pada 2018 Bank Dunia melaporkan jumlah kelas menengah Indonesia menembus 30 persen.

Sementara itu, terdapat 120 juta penduduk lainnya tergolong sebagai aspiring middle class atau kelas menengah harapan. Mereka ini adalah kelompok yang tak lagi miskin dan sedang beranjak menuju ke kondisi ekonomi yang lebih mapan. Bank Dunia memprediksikan jumlah kelas menengah Indonesia pada 2050 nanti akan mencapai 143 juta orang atau lebih dari 50 persen dari total julah penduduk.

Merujuk pada kriteria Bank Dunia, kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran per hari antara 2 sampai 20 dolar Amerika Serikat (AS). Keberadaan kelas menengah dianggap penting dalam pertumbuhan ekonomi lantaran merupakan elemen utama penggerak roda produksi dan konsumsi.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok kelas menengah menyumbang setidaknya 45 persen dari total konsumsi domestik. Selain penghasilan yang nisbi tinggi, kelas menengah juga dicirikan dengan perilaku konsumsinya yang cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder, bahkan tersier.

Salah satunya ialah kebutuhan atas kepemilikan kendaraan pribadi, baik sepeda motor atau mobil. Menjadi wajar jika angka penjualan kendaraan bermotor di Indonesia mengalami lonjakan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menyebut, sepanjang 2019 tercatat 1.100.950 unit sepeda motor terjual, naik 19,4 persen dari 2018  (922.123 unit).

Tren positif juga terjadi pada penjualan mobil. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat 851.430 unit mobil terjual pada 2018, naik 10,85 persen dibanding 2017 (786.120 unit). Di situ segmen mobil yang diproduksi di Indonesia melalui kebijakan pemerintah “Low Cost Green Car” (LCGC) menyumbang 13,52 persen dari total penjualan.

 

Mengatasi tantangan

Melihat sederet angka di atas, agaknya tak berlebihan untuk menyebut industri otomotif nasional tengah mengalami pertumbuhan yang menjanjikan. Ini artinya, industri otomotif nasional bisa dikatakan memiliki potensi masa depan gemilang. Selain pertumbuhan ekonomi di atas lima persen dan meningkatnya jumlah kelas menengah, gencarnya pembangunan jalan tol berbayar dan jalan umum diyakini akan kian mendongkrak penjualan kendaraan bermotor di masa depan.

Terlebih lagi, industri otomotif merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang tengah diprioritaskan pengembangannya oleh pemerintah. Tujuannya adalah menjadikan industri otomotif nasional sebagai salah satu pionir penerapan revolusi industri ke empat sesuai program pemerintah yang bertajuk “Peta Jalan Making Indonesia 4. 0”. Melalui program ini diharapkan industri otomotif nasional tak hanya mampu melayani pasar domestik, namun juga merambah pasar regional dan global.

Pada saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara kedua dengan manufaktur industri ekonomi paling besar di ASEAN. Bersama Malaysia dan Thailand, Indonesia bersaing memperebutkan pasar otomotif global. Dari data yang dirilis GAIKINDO, ekspor mobil utuh atau completely built up (CBU) Indonesia pada 2018 mencapai 187.752 unit, naik 10,4 persen pada 2017 yang mencapai 170.059 unit. Jumlah itu belum termasuk ekspor berbagai jenis komponen mobil berikut aksesoris yang jumlahnya bisa mencapai jutaan unit per-tahunnya.

Meski tampak menjanjikan, industri otomotif nasional dalam banyak hal sebenarnya masih menghadapi berbagai macam tantangan. Berbagai tantangan itu dapat dirangkum ke dalam setidaknya dua persoalan besar. Pertama, kurang berkembangnya industri komponen domestik yang mengakibatkan proses manufaktur otomotif masih bergantung pada komponen impor. Ketidaktersediaan komponen lokal yang memadai membuat pabrikan otomotif mengandalkan pasokan dari luar negeri. Padahal aktivitas impor sangat dipengaruhi oleh fluktuasi kurs mata uang asing.

Kedua, ekspansi industri otomotif nasional ke pasar global belakangan ini dihadapkan pada isu lingkungan dan energi. Meningkatnya kesadaran konsumen global akan isu lingkungan dan energi memunculkan kepedulian terhadap konsumsi bahan bakar dan gas buang produk otomotif. Saat ini, level standar emisi produk otomotif di sejumlah negara sudah mencapai Euro IV (salah satunya adalah Malaysia). Bahkan negara-negara maju (termasuk negara tetangga dekat sesama anggota ASEAN, Singapura) sudah menerapkan Standar Emisi Euro VI.

Dua tantangan besar di atas tentu perlu segera direspons, baik oleh pelaku industri otomotif maupun pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Dari sisi pelaku, peningkatan sumberdaya manusia (SDM) adalah hal yang mutlak. Bukan hanya pada SDM yang dimiliki oleh pabrikan otomotif, namun juga kapabilitas SDM yang ada dalam keseluruhan rantai pemasok komponen dalam keseluruhan lanskap besar industri otomotif nasional.

Pelaku industri otomotif nasional harus mendorong kompetensi SDM di kalangan pemasok agar mampu menghasilkan produk berstandar internasional sekaligus berdaya saing global. Aktivitas pendampingan, pelatihan serta pemberdayaan bagi perusahaan pemasok, baik besar, menengah atau kecil harus ditingkatkan. Hal ini penting lantaran keberhasilan industri otomotif nasional ditentukan salah satunya oleh sinergi antara pabrikan besar dan perusahaan pemasok komponen.

Tak hanya pelaku, peran pemerintah pun dibutuhkan untuk menghadapi tantangan-tantangan industri otomotif nasional di kancah global tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah berkewajiban untuk memastikan iklim dan lingkungan usaha manufaktur berjalan kondusif.

Di sisi regulasi, pemerintah harus memastikan bahwa peraturan yang ada harus mampu memayungi industri otomotif dari hulu hingga hilir. Selain regulasi yang adaptif pada kepentingan pelaku industri otomotif, pemerintah juga berkewajiban untuk mengembangkan infrastruktur yang mendukung kelancaran mobilitas logistik sekaligus proses ekspor-impor barang. Kolaborasi aktif antara pelaku industri dan pemerintah inilah yang diharapkan membuat industri otomotif nasioal berjaya di pasar lokal, regional, maupun global. (Beritagar; oleh Siti Nurul Hidayah, peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation.)