JAKARTA— Menjelang 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Undang-undang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan UU Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA). Diharapkan dengan pengesahan UU RCEP dan IK-CEPA, kerja sama perdagangan dapat berkontribusi terhadap ekonomi, nilai dan volume perdagangan barang jasa kedua negara, investasi keluar dan masuk, hingga perluasan lapangan pekerjaan.
Sepanjang Januari-Juli 2022, Indonesia lebih banyak mengekspor barang mentah yang berasal dari sumberdaya alam. Itu antara lain minyak kelapa sawit (26,6 miliar dolar AS), batu bara (26,5 miliar dolar AS), gas minyak bumi (7,4 miliar dolar AS), dan besi (7,1 miliar dolar AS). Sementara Korsel mengekspor sirkuit terpadu elektronik (52,3 miliar dolar AS), medium oils (17,8 miliar dolar AS), kendaraan bermotor (15,3 miliar dolar AS), dan suku cadang dan aksesoris mesin pengolah data (13,2 miliar dolar AS).
Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan Indonesia harus bekerja keras agar Korsel bisa menjadi salah satu negara tujuan utama ekspor. Jika melihat barang yang diekspor ke Korsel, Marthini yakin ada banyak kesempatan di sana. “Saya rasa apa yang penting kita harus meningkatkan ekspor dan impor. Kalau lihat Korea belum top five di tujuan ekspor Indonesia, ada banyak kesempatan di sana dalam hal kebijakan dan strategi, kebijakan perdagangan internasional ada [di] bilateral, regional, dan multilateral,” kata Marthini seperti dikutip KUMPARAN 15 Oktober 2022.
Untuk mencapai itu, Kemendag tengah menyusun strategi untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Korea dengan berbagai cara. Untuk mencapai ke arah sana, penting bagi kedua negara bertumbuh bersama karena saling membutuhkan dalam berbagai aspek. Apalagi dari banyaknya kesempatan yang ada, terlihat bahwa kedua negara saling membutuhkan. “Indonesia membutuhkan Korea dan Korea membutuhkan Indonesia. Kita punya sumberdaya alam, konsumen, dan demokrasi. Korea punya technological powerhouse tapi marketnya kecil dan tak ada natural resources di Korea. [Sehingga tujuannya] bagaimana kerja sama ini membawa kedua negara ke arah sana,” katanya.
Marthini pun mencontohkan bagaimana Korsel menjadi pemain besar dalam industri otomotif dan elektronik namun pasarnya terbatas. Ia menegaskan, Indonesia bisa memanfaatkan itu dan masuk di sana. “Mereka membutuhkan pasar global. Sehingga jika Korea berinvestasi di Indonesia dan membuat Indonesia sebagai industrial hub, maka [produk Korsel] dapat dipasarkan ke seluruh dunia,” kata Marthini.
Diharapkan dengan perjanjian perdagangan ini, Korsel dapat berinvestasi di Indonesia, membuka lapangan kerja, menyerap tenaga kerja, dan sekaligus membuka peluang terjadinya transfer teknologi. Salah satu peluangnya melalui industri ekonomi kreatif saat ini sedang naik daun dan Korsel adalah salah satu negara yang cukup maju dalam hal itu.
“Sejumlah area yang kita lihat saat ini di antaranya animasi computer graphic (CG), komik, dan ini yang disebut ekonomi kreatif. Ini yang dapat dilakukan Indonesia dan Korea bersama karena ada banyak talenta di sini. Korea sebagai negara terbesar di bidang ini memiliki banyak koneksi global dan kita bisa menggunakan koneksi ini untuk industri kita untuk bekerja bersama,” katanya.
Dalam level baru kerja sama kedua negara, Marthini mengatakan Indonesia dan Korsel dapat bekerja sama untuk menghadapi krisis dunia yang terjadi akibat pandemi COVID-19 hingga perang Rusia-Ukraina. Ia pun kembali menyinggung bagaimana Korsel merupakan salah satu negara dengan industri otomotif terbesar dan hal itu dapat dimanfaatkan Indonesia untuk menjadi salah satu bagian dari rantai pasokan onderdil mobil, khususnya di tengah kebutuhan mobil listrik saat ini.
“Korea sangat maju dalam industri ini. Saya rasa mereka melakukan yang terbaik dalam menjadi pemimpin pasar untuk mobil listrik. Mobil memang mobil, tapi di balik itu ada banyak tahapan yang bisa dilakukan dan Indonesia dapat menjadi bagian itu. Tentu saja dalam hal factory line, bagaimana proses membuat mobil, dan komponen lainnya dari industri otomotif,” katanya.
Indonesia diharapkan dapat mengambil kesempatan dan menjadi pemain besar di industri mobil listrik. Apalagi, Indonesia memiliki banyak bahan mentah untuk membuat mobil listrik. “Kita bisa bekerja bersama Korea. Ini sudah dimulai sekarang. Kita punya bahan mentahnya seperti baterai, lalu ada software, dan dari sana bisa terjadi transfer teknologi, lalu menjadi ahli secara skill. Sehingga tanpa disadari, Indonesia dapat menjadi powerhouse untuk mobil listrik. Itu mungkin dilakukan lewat kolaborasi dengan rekan perdagangan kita seperti Korea,” katanya.
Transfer teknologi kini menjadi hal yang dinantikan Indonesia. Meski memang dalam kesepakatan kerja sama tidak ada keharusan bagi Korsel untuk memfasilitasi transfer teknologi, namun diharapkan melalui investasi hal itu dapat tercapai melalui sumberdaya manusia yang ditempatkan untuk itu. “Yang kita punya adalah memfasilitasi transfer [teknologi] terjadi lewat perdagangan atau investasi. Karena transfer teknologi itu [biasanya dilakukan] sektor swasta. Pemerintah punya visi strategis. Ketika terjadi investasi, mereka akan membawa SDM, pelatihan, pertukaran, dan lain-lain. Tapi kalau Korsel harus transfer teknologi, tidak ada, tidak ada desakan atau keharusan bagi Korsel untuk melakukan transfer teknologi,” katanya lagi.
“Melalui Indonesia-Korea CEPA, kami [Indonesia] ingin seperti Korea yang bisa menguasai industri otomotif seperti untuk mobil listrik, petrochemical, dan ini sesuatu yang kita butuhkan untuk memproduksi bahan baku untuk banyak hal. Apakah kita bisa memilikinya sekarang? Tak bisa instan, harus melalui proses. Harus ada jangka panjang. [Sehingga] saya percaya melalui perdagangan dan investasi akan ada transfer teknologi,” katanya.
Marthini juga menyoroti bagaimana Indonesia berusaha untuk menciptakan perjanjian kerja sama yang menitikberatkan pada daya tarik investasi. Menurutnya, kerja sama yang dilakukan saat ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan peluang ekonomi yang menarik. “Dan juga memperkuat industri domestik saya kira berhubungan dengan investasi dan juga pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Presiden Jokowi sejak hari pertama pemerintahannya mengatakan bahwa perjanjian perdagangan ini harus membantu pembangunan sumber daya alam,” katanya.
Marthini mengatakan perdagangan antara kedua negara masih harus memahami satu sama lain. Khususnya dalam hal regulasi yang sering menjadi batu sandungan kedua negara. “Banyak supplier Indonesia tak mengerti peraturan karena tidak paham Bahasa Korea. Peraturannya kaku, tapi kalau diikuti dan memahami, gampang untuk mengerti. Karena itulah kita membutuhkan advokasi, seseorang yang mengerti dan setelahnya akan mengikuti untuk keberlanjutan,” katanya. (*)