DETIK— Pasar mobil di Indonesia selama beberapa tahun mentok di angka sekitar satu juta unit per tahun. Sedangkan di saat yang sama, pemain baru justru berdatangan. Padahal rasio kepemilikan mobil masih sekitar 99 mobil per 1.000 penduduk.
Penjualan mobil tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2013 yang mencapai 1.229.811 unit. Angkanhya kemudian terus turun di tahun berikutnya sekitar satu jutaan unit. “Waktu itu kenapa kita tumbuh tinggi? Karena harga komoditas sedangbagus, gross domestic product (GDP) kita waktu itu naik. Kemudian juga pemerintah memberikan subsidi bahan bakar, terus low cost green car (LCGC). Jadi memang ada beberapa faktor, kemudian juga ada model Low MPV (multipurpose vehicle). Terus ada subsidi bahan bakar. Kemudian juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum setinggi saat ini,” kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam di Karawang (Jawa Barat), sekitar awal 2024.
Perlu insentif untuk menumbuhkan pertumbuhan pasar. Itu berkaca dari pemerintah yang melakukan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) saat merebaknya pandemi global Covid-19. Kala itu penjualan sedang anjlok drastic. Namun permintaan kembali tinggi setelah pemerintah memberikan pembebasan PPnBM.
Insentif diskon PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) untuk mobil terbukti mampu memberikan stimulus bagi peningkatan industri-industri pendukungnya. Ini terutama yang bergerak pada industri komponen otomotif. Melalui kebijakan PPnBM DPT, beberapa subsektor manufaktur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional 2021 yang sebesar 3,69 persen.
“Kita bisa lihat begitu relaksasi (PPnBM) langsung naik. Tapi secara politik memang tak popular karena seolah-olah memberi insentif untuk orang kaya. Itu yang berat bagi pemerintah. Padahal secara industri menguntungkan, karena industri bisa tumbuh, pajak yang dibayarkan tak berkurang,” kata Bob.
Bob mengaku sudah berbicara dengan pemerintah terkait insentif pajak untuk menumbuhkan pasar otomotif yang stagnan di level satu jutaan. Masalahnya angka itu tak beranjak naik sejak 10 tahun terakhir. “Waktu pandemi kita sudah sampaikan, bukan hanya (insentif) pandemi, tapi untuk seterusnya. Kita sudah sampaikan, bahwa industri kita ini sekarang masuk ke ekonomi biaya tinggi, karena dipajakin terus, apalagi market-nya tidak growth. Ekonomi biaya tinggi bisa kita tekan, birokrasi lebih efisien, kita bisa mendatangkan investasi dan kita tumbuh di atas lima persen,” ujar dia.
Untuk menghindari jebakan satu juta unit, maka selain fokus bagaimana meningkatkan pasar domestik Indonesia, juga tak kalah pentingnya fokus pada pasar luar negeri. Thailand masih juara untuk produksi mobilnya ketimbang Indonesia. “Pajak kita ketinggian, kalau mau beli mobil sekian persen isinya pajak,” kata Bob.
Dengan pasar yang bertumbuh diharapkan bisa menggoda investor dari berbagai merek otomotif. Memang untuk saat ini, Indonesia kebanjiran pemain dari China, yang juga merakit mobil di dalam negeri. Tapi bagaimana dengan penyerapan pasarnya? “Kita kan selalu ingin yang terbesar di Asia Tenggara, selalu kan. Jadi simple aja. Bandingkan dengan Thailand, juaranya di Asia Tenggara, bagaimana pajaknya. Jadi pajak mereka itu lebih rendah, jadi kurang dari separuh. Di sana tak ada pajak daerah. Kemudian kita kan baru naikan PPN,” kata Bob.
“Kalau contohnya Thailand dengan pajak seperti itu, pasarnya jadi berkembang. Kan bayar pajak juga ke pemerintah. Akhirnya pajak yang diterima pemerintah tidak turun bahkan industrinya bergerak, sehingga akan menciptakan pajak lain kepada pemerintah,” kata Bob.
“Jadi jangan selalu solusinya menaikkan pajak. Menurunkan pajak juga jadi salah satu solusi untuk meningkatkan penerimaan negara. Jangan salah. Kita harus hati-hati sekali. Karena otomotif ini sudah satu juta tidak bertumbuh, jadi kalau ada yang masuk, ya berarti dia gantin yang lama. Padahal yang lama sudah ada infrastruktur, sudah ada investasi, dan lain sebagainya, jadi kita kayak jalan di tempat,” kata.
Mengutip paparan LPEM (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada pameran mobil GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023 lalu, pendapatan per kapita orang Indoneisa naik tipis per tahun 3,65 persen. Itu asih berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah-atas awal. Pendapat per kapita yang naik tipis tersebut disebabkan pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara lima persen dalam kurun waktu periode 2015-2022. Ini menjadi salah satu penyebab penjualan mobil di Indonesia stagnan di level satu juta unit.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara masih mencari formula untuk melakukan terobosan supaya angka penjualan dalam negeri dan utilisasi pabrik otomotif di Indonesia bisa berkembang. “Kita nggak gegabah dalam mencari solusinya, sekarang kita sedang mengkaji dengan LPEM UI, kenapa ini satu dekade masih satu juta, jadi banyak sisi yang kita lihat apakah mobilnya terlalu mahal, apakah kemudian perlu sisi lain lagi, misalnya pertumbuhan ekonomi, belum selesai studinya,” kata Kukuh.
Terkait pajak yang tinggi, pengamat otomotif Yannes Pasaribu juga mengamini hal tersebut.Beberapa instrumen pajak yang dikenakan mulai dari biaya bea impor komponen, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), biaya tanda pendaftaran, biaya uji tipe, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan sebagainya.
“Harga akhir sebuah mobil di Indonesia itu relatif mahal sebenarnya, karena di samping pajak-pajak yang dikenakan pada sebuah mobil, ada berbagai pungutan lainnya sejak mobil keluar dari pabrik hingga ke dealer. Hal inilah yang membuat harga mobil tinggi,” kata akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. (*)