Berita

Penetapan Tarif Mobil Impor AS sangat Membebani Industri Otomotif Global

WASHINGTON – Setelah melewati masa-masa yang berat pada tahun 2018 kemarin, produsen mobil dunia tampaknya masih akan kembali menghadapi tantangan lanjutan pada 2019 ini. CNN memunculkan kabar terbaru bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk mengenakan tarif pada mobil-mobil impor. Tarif ini bisa memukul merek-merek mobil global.

Indikasinya sudah kelihatan, yakni melambatnya penjualan mobil di China yang selama ini merupakan pasar mobil terbesar di dunia. Penjualan mobil penumpang di China merosot hampir 18 persen pada Januari 2019 dibanding periode yang sama 2018. Ini menjadi beban tambahan bagi merek global seperti General Motors (GM) dan Volkswagen (VW) yang punya ketergantungan besar pada penjualan mobil di negara tersebut. Penjualan mobil di China telah turun sejak Juli 2018.

Penyebabnya, ekonomi Cina melambat dan negosiasi dengan AS untuk gencatan senjata perang dagang terus berlangsung. Konsumen menjauh dari showroom, sekalipun pihak dealer sudah memberikan diskon di saat liburan tahun baru China. Pada 2018, pasar berkontraksi untuk pertama kalinya sejak awal 1990-an. Kondisi ini menyebabkan produsen yang telah menghabiskan miliaran dolar untuk menambahkan pabrik dan jalur produksi di China dalam beberapa dasawarsa terakhir pesimistis terhadap pertumbuhan. VW yang merupakan pabrikan asing nomor pertama di China memperkirakan pasar China akan menyusut di semester pertama 2019.

Permasalahan Jaguar Land Rover Automotive Plc di China memaksa perusahaan induknya mencatat write down (pengurangan estimasi atau nilai nominal aset) 3,9 miliar dolar AS pada bulan ini. Daimler AG dan BMW AG mengurangi perkiraan laba tahun lalu di tengah tekanan perang dagang AS dengan China yang menekan permintaan mobil. Sementara, Hyundai Motor Co membiarkan para karyawannya berhenti bekerja.

Turunnya penjualan mobil di China pada 2018 merupakan fenomena pertama dalam dua dekade terakhir. Penurunan penjulan mobil di China terjadi akibat pukulan bertubi-tubi beberapa hal sekaligus. Itu antara lain berupa upaya pemerintah untuk menekan pinjaman yang berisiko setelah kenaikan tingkat utang yang tinggi, ditambah lagi dengan ketegangan perdagangan melawan AS, serta penghapusan subsidi China di sektor otomotif.

Akibatnya, beberapa produsen mobil besar dunia terkena imbasnya. Penjualan GM, misalnya, turun 10 persen, sementara penjualan Ford ambles lebih dari 30 persen. Tak cuma dari China, tantangan juga bakal datang dari kebijakan tarif yang kemungkinan akan diberlakukan AS.  Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross belum lama ini menyerahkan hasil penyelidikan kepada Presiden Donald Trump mengenai potensi ancaman keamanan nasional AS dari impor mobil dan suku cadang.

Selain China, AS dan Eropa juga mengalami kondisi serupa. Ini memicu kecemasan terhadap industri otomotif yang sudah bergulat dengan penurunan laba di tengah tingginya pengeluaran untuk membiayai peralihan ke mobil listrik dan mobil tanpa sopir (otonom). Jepang juga ikut terpukul. Volume penjualan di pasar kecil lainnya tak cukup mengimbangi penurunan di wilayah penjualan terbesar.

Analis industri otomotif berbasis Beijing, Gu Yatao, menilai, tekanan terhadap industri ini masih tetap ada. “Pemerintah belum mengadopsi kebijakan yang merangsang untuk memberikan kesempatan kepada pasar untuk tumbuh,” katanya dikutip dari Business Standard, Selasa 19 Februari 2019.

Perlambatan global telah memukul pendapatan hampir di seluruh produsen otomotif. Mulai dari Ford Motor Co, VW, dan Toyota Motor Corp mengalami tekanan ketika mereka membelanjakan kendaraan listrik dan otonom. Industri otomotif yang melambat makin diperparah dengan pergolakan politik, perang dagang, dan surutnya pemakaian mesin diesel yang merusak sentimen konsumen. Sementara itu, meningkatnya ketersediaan layanan taksi online dan layanan berbagi kendaraan juga membuat banyak orang merasa tidak terlalu membutuhkan kepemilikan mobil pribadi.

Analis di Macquarie Group Ltd, Janet Lewis, menilai, pasar mobil global akan stagnan atau tumbuh hanya satu persen di tahun ini. Kondisi tersebut diprediksi terjadi di tengah harapan terjadinya pemulihan pasar di China pada semester kedua. “Pasar Amerika dan Eropa akan berubah sedikit,” katanya.

Nada pesimistis juga disampaikan analis di perusahaan riset Fourin Corp, Zhou Jincheng. Menurutnya, pasar yang sudah matang sulit tumbuh secara signifikan. Kompleksitas lingkungan perdagangan global kini juga sedang kurang mendukung. (Republika, Bisnis, Kontan)