Artikel Berita Road Safety Transportasi

Pengusaha Minta Presiden Terpilih Tuntaskan Soal Truk yang Melanggar Batas Ukuran dan Batas Muatan

JAKARTA— Pengusaha truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) ingin presiden terpilih bisa menyelesaikan masalah klasik pengusaha. Masalah lama yang selalu berulang hingga saat ini ialah truk yang ukurannya melebihi spesifikasi standar dan memuat beban jauh di atas yang dibolehkan (over-dimension, over-load, ODOL). “Jadi kami harap bisa menuntaskan masalah-masalah klasik yaito soal ODOL,” kata Wakil Ketua Umum Aptrindo Kyatmaja Lookman seperti dikutip detikFinance, beberapa waktu lalu.

Truk seperti ini banyak dipakai mayarakat dengan tujuan agar bisa memuat banyak sehingga menghemat ongkos operasional. Tapi dampak negatifnya, truk ODOL membuat jalan raya cepat rusak dan sulit dikendalikan sehingga rawan kecelaan. Kyatmaja menjelaskan, truk ODOL memberikan keuntungan secara ekonomi. Tapi, di saat yang sama juga memicu kerugian yang besar secara sosial. Sebab, truk ODOL menjadi sering penyebab kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan jalan yang menimbulkan kemacetan.

“Biaya akibat dari kecelakaan, biaya orang meninggal, biaya polusi, biasa orang cacat disebabkan angkutan barang. Ini nggak pernah dihitung kerugian sosial dan hanya faktor ekonomi saja,” katanya.

Kyatmaja juga berharap, presiden terpilih memperhatikan masalah truk-truk yang sudah tua. Menurutnya, 50 persen truk beroperasi usianya di atas 10 tahun. Dia juga ingin, pemerintah berkontribusi dalam pengembangan sumberdaya manusia (SDM) untuk pengemudi. “Masalah SDM pengemudi yang perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya,” katanya.

 

Logistikos: Banyak Cara Mengurangi Pelanggaran Truk ODOL

Sebelumnya, Bisnis Indonesia melaporkan, upaya Kementerian Perhubungan mengatasi truk ODOL tak mudah. Di kalangan pengusaha truk masih ada persepsi bahwa Kemenhub kurang serius memberantas ODOL. Bagi pengusaha truk, memuat barang berlebih memang dilematis. Pengusaha truk terpaksa melakukan pelanggaran karena tuntutan pemilik barang, di sisi lain pengusaha truk tak bisa menolak karena khawatir pemilik barang mencari truk lain.

Pada akhirnya, tak sedikit pengusaha truk yang menambah panjang dimensi ukuran truknya (over-dimension). Bahkan, tak jarang truk yang dipesan dari karoseri sudah over-dimension. Contoh overdimension adalah ketika truk boks tronton seharusnya memiliki tinggi 2.850 milimeter, tetapi setelah diukur menjadi 3.200 milimeter. Dalam catatan PT Jasa Marga (Persero) Tbk sekitar 110 ribu unit truk besar melintas di ruas jalan tol Jakarta—Cikampek setiap hari. Sekitar 63 persen kecelakaan yang terjadi sepanjang tahun lalu melibatkan kendaraan angkutan barang.

Belakangan mulai muncul kesadaran dari pengusaha truk untuk mendukung pemerintah dalam penertiban angkutan barang. Mereka mulai mengembalikan lagi kendaraannya ke keadaan semula. Pada 2018 lalu, gerakan itu muncul di Provinsi Riau ketika 25 unit truk milik tujuh pengusaha yang tergabung dalam DPD Asosiasi Peng­usaha Truk Indonesia (Aptrindo) Riau menormalkan truk mereka.

Aptrindo Riau bersinergi dengan Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah IV Riau dalam upaya tersebut. Hasilnya, pujian pun datang dari Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi karena paling cepat merespons soal penertiban ODOL. Selain Riau, Provinsi Jawa Timur juga ikut dalam mengembalikan dimensi truk. Setidaknya sudah ada 100 unit truk over-dimension yang memotong sumbu, bak dan bumper.

Dampak positif mengembalikan dimensi truk adalah armada angkutan barang lebih awet dan otomatis jumlah ritase atau penghitungan sewa truk akan lebih banyak. Dampak negatifnya adalah tidak sedikit pemilik barang yang mencari truk lain yang masih melanggar ODOL guna menghemat biaya. Pemilik barang bisa menghemat biaya logistik hingga 42% jika menggunakan satu truk ODOL daripada harus menggunakan dua unit truk.

DPP Aptrindo memang telah meneken komitmen anti-ODOL bersama Kemenhub beberapa waktu lalu. Dalam perjalanannya tak semua pengusaha truk setuju mengingat salah satu faktor yang memberatkan yaitu terkait over-dimension. Normalisasi kendaraan dinilai memberatkan karena menambah beban biaya bagi pengusaha truk padahal kendaraan tersebut sudah dalam keadaan demikian ketika saat pembelian. Biaya normalisasi truk setidaknya mencapai Rp 15 juta per unit.

DPP Aptrindo terus mengingatkan anggotanya bahwa over-dimensi sebenarnya merugikan. Aptrindo juga terus mendorong agar perwakilannya di daerah melakukan kaloborasi dengan BPTD setempat untuk normalisasi truk. Persoalan sebenarnya adalah tertuju bagi kalangan pengusaha truk yang tidak tergabung dalam asosiasi. Kemungkinan besar mereka acuh terhadap aturan ODOL. Di sini, peran pemerintah dalam merangkul pengusaha nonasosiasi sangat mutlak dilakukan. Apalagi tidak semua pengusaha mampu membeli armada tambahan di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS menjadi dasar kalangan pengusaha menahan pembelian armada.

Demi memupuk kesadaran pengusaha truk agar mau menormalkan armadanya perlu terus disosialisikan pemerintah. Sejauh ini, penertiban truk ODOL belum gencar dilakukan di daerah. Solusi lain bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan mengunjungi langsung kantong parkir truk agar tak dibilang main-main dalam penertiban ODOL. Apalagi, Kemenhub menargetkan permasalahan ODOL dapat terurai pada 2019 ini.

Penertiban secara langsung tersebut jangan sampai menimbulkan polemik. Kemenhub harus berhati-hati dan jangan sampai mengganggu keberlangsungan usaha pengusaha truk. Lebih baik, Kemenhub merangkul dahulu pengusaha truk dengan cara persuasif. Bagaimana pun usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. (*)