Kemunculan Elon Musk dan Tesla Inc yang berkembang pesat sebagai produsen otomotif paling berharga—melampaui produsen otomotif legendaris Daimler AG (perusahaan induk Mercedes-Benz), General Motors, atau bahkan Toyota—bisa menandai era baru industri otomotif global. Pencapaian mereka dibentuk oleh pendekatan radikal dan revolusioner, yang biasa digunakan pada industri perusahaan rintisan di Silicon Valley (California, Amerika Serikat, AS). Pendekatan itu seolah menantang sistem lama yang sudah mapan.
Saat ini Tesla bernilai hampir 304,6 miliar dolar AS, lebih dari enam kali kapitalisasi pasar Daimler yang 41,5 miliar euro (47,7 miliar dolar AS). Meroketnya Musk dan Tesla mengejutkan banyak orang. Cara kerja Tesla jadi perhatian Daimler AG setelah perusahaan Jerman yang telah berusia satu abad ini membeli 10 persen saham Tesla tahun 2009 dengan nilai sekitar 50 juta dollar.
Sejak itu, para desainer dan insinyur Daimler memperhatikan lebih dekat bagaimana Musk dan timnya mengembangkan produk. Sejak itu pula, mereka tahu bagaimana Tesla berani mengambil risiko meluncurkan produk yang belum sempurna dan berulang kali memperbaikinya, termasuk perbaikan, pembaruan peranti lunak, seperti cara kerja gawai pintar, lalu unduh dan upgrade, menambal kelemahan peranti lunak yang lama.
Tenaga ahli Mercedes membantu Tesla dalam pengembangan Tesla Model S, salah satu model terlaris mereka. Sebagai imbalannya, Mercedes bisa mengakses desain baterai listrik Tesla yang fenomenal, khususnya teknologi baterai, kapasitas, dan daya jangkau berkendara.
Daimler dan Tesla akhirnya berkolaborasi. Selain memesan 1.000 unit baterai, Mercedes-Benz dan Tesla bermitra dalam pengembangan sedan Tesla Model S. Kemitraan ini membuat Musk yakin bahwa Model S menjadi kendaraan ”super”, terutama bagi pemain pemula seperti dirinya. Tesla Model S meluncur tahun 2012. Sementara Mercedes-Benz meluncurkan B-Class, hatcback listrik mereka, dua tahun kemudian. Namun, di tahun yang sama, kemitraan berakhir.
Tiga sumber di Mercedes-Benz yang terlibat langsung dalam kolaborasi itu menyoroti benturan budaya yang dianut Daimler, sebagai pabrikan lama, dan Tesla, yang mengusung budaya rekayasa mekanik dan industri baru. Pabrikan Jerman itu masih memegang teguh budaya keselamatan dan kontrol jangka panjang, menghargai evolusi dan pendekatan eksperimental. Adapun Musk dan Telsa bekerja dengan pendekatan lebih radikal dan inovasi cepat. Dua pabrikan itu tak ubahnya seperti dua kutub yang berbeda. ”Elon Musk telah berjalan di atas bilah pisau cukur dalam hal agresivitas penerapan teknologi baru,” kata salah satu pejabat Daimler.
Dalam kerja sama tersebut, para insinyur Jerman menemukan bahwa Tesla tidak melakukan tes jangka panjang pada baterai listrik mereka. Kebalikan dengan Tesla, Daimler, sebagai industri otomotif yang sudah mapan, mereka memiliki cetak biru untuk pengembangan setiap produk, termasuk dari hal-hal yang kecil dan kemudian dikembangkan seiring dengan berjalannya waktu. ”Tesla tidak begitu peduli dengan aspek ini,” kata sumber kedua di Daimler.
Sejumlah wartawan asal Indonesia dan beberapa negara pasar Mercedes-Benz sempat berbincang dengan beberapa anggota tim pengembangan transmisi hibrida Daimler AG ketika diundang Mercedes-Benz Distribution Indonesia (MDBI) hadir di pameran mobil Frankfurt Motor Show 2019. Matthias Klopler, salah satu anggota tim pengembangan transmisi hibrida Daimler AG, mengatakan bahwa baterai yang digunakan untuk mobil hibrida C-Class hingga S-Class merupakan baterai generasi ketiga.
Pertama kali Mercedes-Benz mengenalkan baterai untuk mobil hibrida sejak tahun 2009 lalu, ketika meluncurkan S 400. Sementara untuk kelas A dan B, ini untuk pertama kalinya Mercedes-Benz menanamkan baterai untuk penggerak motor listrik pada mobil kompak mereka untuk produksi massal.
Untuk menghilangkan keraguan tentang isu keselamatan dan keamanan setelah serangkaian kerusakan dan terbakarnya baterai, Tesla baru bergerak. ”Membuat kesalahan di sepanjang perjalanan tidak membuat Anda dikenai sanksi. Namun, gagal untuk mengupayakan inovasi akan berbuah bagi Anda. Anda akan dipecat,” kata Musk dalam sebuah wawancara terkait pentingnya inovasi di perusahaannya.
Pabrikan-pabrikan otomotif mapan saling berkejaran dengan Tesla. Mereka mendesain sendiri sistem operasi perangkat lunak dan membuat mobil listrik. Toyota, raksasa dari Jepang, juga menjalin kerja sama dengan Tesla. Toyota sempat terkesan dengan kecepatan Tesla menentukan desain-desain baru. Namun Toyota memutuskan metode ala Tesla tak cocok untuk produksi massal yang dikembangkan pabrikan yang sudah mapan.
Dari perspektif investor, pemain tradisional harus merogoh koceknya lebih dalam untuk merestruturisasi bisnisnya, terutama mengubah lini produksi yang masih memproduksi kendaraan dengan pembakaran dalam (internal combustion engine) ke baterai listrik. Sebaliknya, menurut Mark Wakefield dari firma konsultan otomotif dan industri AlixPartners, perusahaan baru mendapatkan waktu dari investor untuk belajar, membuat kesalahan, dan tumbuh.
Ola Kallenius, pemimpin tertinggi Daimler-AG, induk dari Mercedes-Benz, pada Mercedes-Benz Media Day di Frankfurt Motor Show 2019, September tahun 2019 lalu, mengungkapkan bahwa pihaknya memilih jalur evolusioner dibanding revolusioner yang dianut Musk. Kebijakan yang dianut Daimler-AG dan coba mereka laksanakan adalah membuat produksi kendaraan seramah mungkin dengan lingkungan dan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2022.
Pendekatan mana yang bakal unggul ke depan, kita lihat saja. (Kompas)