JAKARTA— Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 Tahun 2019 dan merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 yang terbit awal Juli 2019 menuai beragam tanggapan dari pelaku industri. Kebijakan ini memberikan fasilitas pengurangan pajak penghasilan atau superdeduction tax bagi wajib pajak (WP) badan yang melakukan kegiatan vokasi.
Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto mengatakan, Toyota menyambut baik kehadiran kebijakan tersebut. “Kami menyambut baik termasuk potensi fasilitas yang ada, namun yang utama adalah konsistensi untuk tumbuh kembang bersama,” kata Fransiscus seperti dikutip Kontan.co.id, awal September 2019.
Menurutnya, salah satu harapan besar yakni keterlibatan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) siap kerja dalam industri yang berkaitan dengan industri milik Toyota. Demi mengupayakan pengembangan vokasi, Fransiscus mengungkapkan selama ini Toyota memiliki program pelatihan bernama Toyota Technical Education Program (TTEP).
Program yang menyasar kalangan pelajar SMK ini telah dilaksanakan pada 62 SMK seluruh Indonesia. “Sudah dimulai sejak 1991, tidak hanya soal kurikulum bahkan melalui praktik,” kata Fransiscus.
Sejumlah upaya ini disebut sebagai strategi dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap dengan perkembangan industri. Sayangnya, Fransiscus enggan membeberkan berapa dana yang dialokasikan perusahaan untuk bidang vokasi serta penelitian dan pengembangan.
Tanggapan berbeda datang dari industri furnitur. Direktur Keuangan PT Integra Indocabinet Tbk Wang Sutrisno menganggap apa yang dilakukan kurang menggigit. “Langkah yang baik namun belum benar-benar menyasar akar permasalahan,” kata Wang.
Wang menilai kebijakan ini tak akan begitu berefek khususnya bagi kinerja perusahaan. Ia mencontohkan, niatan pemerintah mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kayu log sebesar 10 persen serta membebaskan kewajiban mengurus SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) juga bukan merupakan solusi yang berdampak besar. “Itu akan lebih berdampak pada cashflow dan karena kami eksportir dengan pembeli yang besar, mereka tentunya memerlukan legalitas produk kami,” kata Wang.
Lebih jauh ia menyebutkan, sejumlah perusahaan lokal yang melaksanakan kegiatan ekspor mengharapkan iklim investasi yang positif. Semisal, dengan tak membatasi bahan baku impor yang dibutuhkan untuk melakukan ekspor.
Menurutnya, impor bahan baku selama ini dilakukan karena industri dalam negeri belum bisa memenuhi kualitas yang dibutuhkan.Seandainya kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari dalam negeri, Wang menjamin perusahaan-perusahaan furnitur akan lebih memilih menyerap produksi dalam negeri.
Sayangnya, perbedaan kualitas yang jauh khususnya pada komponen penting disebut Wang sebagai alasan kenapa sejumlah perusahaan furnitur lebih memilih melakukan impor bahan baku. “Pemerintah harus benar-benar memilah kebijakan yang efektif dan langsung ke sasaran,” kata Wang.
Bahkan Wang beranggapan, pemerintah cukup meniru apa yang dilakukan negara-negara lain. Satu hal yang tak kalah penting baginya yakni tata kelola industri dari hulu ke hilir. Hal ini dianggap akan makin mendorong industri. “Koordinasi ini yang belum terlihat, mengenai PMK, magang dan pengembangan vokasi memang kami lakukan namun tidak besar dana yang kami keluarkan untuk program tersebut,” kata Wang.
Menurutnya, hal ini tidak akan serta merta mendorong pelaku industri untuk berbondong-bondong melakukan pengembangan vokasi. (*)