Teknologi

Mobil memang Harusnya Dibuat oleh Produsen Mobil, bukan Produsen Smartphone

Teknologi smart mobility dewasa bukan hanya milik handphone, melainkan juga menjadi bagian penting pada mobil. Tapi apakah itu berarti produsen smartphone akan mengambilalih peran produsen mobil— misalnya untuk memproduksi mobil listrik? Jawabnya, langkah itu terlalu jauh. Wacana tersebut mencuat dalam artikel Majalah Inggris The Economist.

Beberapa perusahaan smart technology — Google, Apple, Tesla, Uber, Sony, dan Silicon Valley (Mekkah-nya teknologi informasi) di Amerika Serikat (AS). Keinginan mereka memproduksi mobil didasarkan pada dua pemikiran. Pertama, mereka merasa telah menguasai smart technology yang belakangan makin lazim diaplikasikan pada mobil: mesin elektrik, driver-assistance system, bahkan mobil yang sama sekali tanpa pengemudi (fully autonomous cars). Kedua, mereka melihat produsen mobil yang sudah ada selama ini rentan terhadap beban kapasitas yang berlebihan, beban ongkos operasi yang besar, serta beban dari terjadinya recall.

Tapi Majalah The Economist melihat langkah para produsen teknologi informasi (TI) tersebut masih sulit untuk sanggup menggusur produsen mobil yang merupakan pemain lama di industri otomotif. Di dalam produk mobil, TI atau smart technology hanyalah merupakan salah satu aspek. Sedangkan para produsen mobil sekarang sudah semuanya menanamkan modal yang cukup besar untuk mengembangkan TI sendiri untuk dipasang di mobil produk mereka.

Mereka membangun riset tentang baterai, mesin listrik, serta sistem otomatisasi yang meringankan kerja pengemudi. Ford dan Nissan, umpamanya, sudah membangun laboratorium untuk keperluan tersebut di silicon Valley. Demikian juga dengan Mitsubishi. Chevrolet pada Januari 2015 juga sudah memperkenalkan mobil listrik konsep Bolt yang rencananya akan diproduksi massal pada 2017. Dengan harga USD 30 ribu, Bolt sanggup menjelajah jarak hingga 200 mil (sekitar 300 kilometer).

20150221_WBC213

Mobil listrik bertenaga baterai memang praktis bisa di-charge di rumah, ongkos perawatannya murah, dan tanpa emisi. Tapi pasar mobil listrik pun pada saat ini belum menjanjikan. Baterai mobil listrik harganya sangat mahal. Jarak tempuhnya juga tidak terlalu jauh. Dan lagi belum ada infrastruktur pengisian ulang baterai di jalan. Ini semua membuat pengguna mobil listrik masih sangat terbatas.

Nissan Leaf, mobil listrik paling laris sedunia ternyata hanya mampu menjual 40 ribu unit pada 2014, jauh di bawah target 250 ribu unit. Tesla yang pada saat ini sedang mencoba mengisi pasar mobil listrik secara massal pun dikabarkan juga masih kerepotan mengatasi masalah mahalnya baterai. Sehingga mobil elektrik Tesla hanya sanggup mengisi pasar sempit akibat harganya yang mahal. Anjloknya harga minyak dunia juga ikut menghantam prospek bisnis mobil listrik.

Produksi mobil juga bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal bertumpuk-tumpuk regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen. Untuk produsen baru, hal tersebut akan menjadi tantangan yang belum tentu sanggup mereka penuhi.